26 Apr 2013

Tafsir Ibnu Katsir : Ringkasan dan TerjemahNYA, Ringkasan Yang Sahih atau Penyunatan



Diskusi

Tafsir Ibnu Katsir : Ringkasan dan Terjemah - Ringkasan Yang Sahih atau Penyunatan?


Tulisan ini adalah diskusi yang berlangsung di Facebook grup Pengajian Al Islam Solo.
Diskusinya cukup menarik dan silahkan pembaca menyimpulkannya sendiri.

MENGENAL SEKILAS TAFSIR IBNU KATSIR <semoga menambah wawasan pengetahuan kita....aamiin 3x>

I. PENDAHULUAN

Tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab paling penting yang ditulis dalam masalah tafsir al-Qur’an al-‘Azim, paling banyak diterima dan tersebar di tengah umat Islam. Beliau telah menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menyusunnya. Tidak mengherankan jika penafsiran beliau sangat kaya dengan riwayat (baik hadits maupun atsar), bahkan hampir seluruh hadits riwayat Imam Ahmad yang terdapat dalam Kitab al-Musnad tercantum dalam kitab ini.

Beliau menggunakan rujukan-rujukan penting lainnya yang sangat banyak, sehingga sangat bermanfaat dalam berbagai disiplin ilmu agama (seperti aqidah, fiqh, dan lain sebagainya). Sangat wajar apabila Imam As-Suyuthi berkata : “ Belum pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya.”

II. PEMBAHASAN

A. Biografi Pengarang

Beliau adalah imam yang mulia Abdul Fida Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisy al-Busharwi yang berasal dari kota Basharah, kemudian menetap di Damascus. Beliau lahir pada tahun 705 H dan wafat pada tahun 774 H. Beliau adalah seorang ulama yang terkenal dalam bidang tafsir, hadits, sejarah, dan fiqh. Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama Hidjaz dan mendapat ijazah dari al-Wani serta mendapat asuhan dari ahli ilmu hadits terkenal di Suriah yaitu Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi mertuanya sendiri.

Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 6 tahun, oleh karena itu sejak tahun 706 H beliau hidup bersama kakaknya di Damascus.
Beliau juga berguru kepada Ibnu Taimiyah dan sangat mencintai gurunya itu. Sebagian ulama menggangap beliau sebagai salah seorang murid Ibnu Taimiyah yang paling setia dan paling gigih mengikuti pandangan gurunya dalam masalah fiqh dan tafsir.

B. Latar Belakang Penulisan

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.”(QS. Ali Imran 187)

Dengan firman Allah di atas, maka menurut Ibnu Katsir wajib bagi ulama untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam firman Allah dan tafsirya.

C. Bentuk, Metode dan Coraknya

Tafsir Ibnu Katsir dipandang sebagai salah satu tafsir bi al-ma’tsur yang terbaik, berada hanya setingkat di bawah tafsir Ibnu Jarir at-Thabary. Ibnu Katsir menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang disanadkan kepada perawinya, yaitu para sahabat dan tabi’in.
Dalam bidang tafsir, Ibnu Katsir mempunyai metode tersendiri. Menurutnya jika ada yang bertanya: “Apakah metode tafsir yang paling bagus?” maka jawabnya: “Metode yang paling shahih dalam hal ini adalah menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an.

Dan perkara-perkara yang global di satu ayat dapat ditemukan rinciannya dalam ayat lain. jika tidak mendapatkannya maka hendaklah mencarinya dalam Sunnah kerena Sunnah adalah penjelas bagi al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”

Jadi menurut menurut hemat penulis, Ibnu Katsir dalam penafsirannya mempunyai metode sebagai berikut:

1. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
2. Bila penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an tidak didapatkan, maka al-Qur’an ditafsirkan dengan hadits Nabi.
3. Kalau yang kedua tidak didapatkan maka al-Qur’an harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat, karena mereka orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya ayat dalam al-Qur’an.
4. Jika yang ketiga juga tidak didapatkan, maka pendapat para tabi’in perlu diambil.

Bentuk Penafsirannya

Dari aspek bentuk penafsirannya, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir ini memakai bentuk riwayat (al-ma’tsur). Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim yang banyak menggunakan riwayat-riwayat baik dari para sahabat maupun para tabi’in.

Metode Penafsirannya

Dari empat macam metode penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah tafsir al-Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir, ternyata metode yang digunakan dalam tafsir ini adalah metode analitis (tahlili).

Corak Penafsirannya

Dari beberapa corak penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah tafsir al-Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir, ternyata corak yang digunakan Ibnu Katsir dalam tafsir al-Qur’an al-‘Adzim adalah bercorak umum.

D. Karakteristiknya

Diantara ciri khas tafsir Ibnu Katsir adalah perhatiannya yang besar kepada masalah tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an (menafsirkan ayat dengan ayat). Sepanjang pengetahuan saya, tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan hadits-hadits marfu’ yang relevan dengan ayat yang sedang ditafsirkan, menjelaskan apa yang menjadi dalil dari ayat tersebut. Selanjutnya diikuti dengan atsar para sahabat, pendapat tabi’in dan ulama salaf sesudahnya.

Dalam hal ini, Rasyid Ridha berkomentar, “Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap riwayat-riwayat dari para mufassir salaf, menjelaskan makna-makna ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan masalah I’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassir, menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Qur’an secara umum atau hukum dan nasehat-nasehatnya secara khusus.”

Keistimewaan lain dari tafsir Ibnu Katsir adalah daya kritisnya yang tinggi terhadap cerita-cerita Israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil-ma’tsur, baik secara global maupun mendetail.

E. Perbedaan dengan Tafsir At-Thabari

Kitab tafsir at-Thabari yaitu “Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an”, merupakan tafsir paling besar dan utama, menjadi rujukan penting bagi para mufassir bil-ma’tsur. Para ulama sependapat bahwa belum pernah sebuah kitab tafsir pun yang ditulis sepertinya. Sehingga Ibnu Katsir pun banyak menukil darinya. Tidak aneh lagi jika tafsir Ibnu Katsir memiliki sedikit kemiripan dengan tafsir at-Thabari.

Namun dari persaman itu memunculkan perbedaan diantara kedua kitab tafsir itu, yaitu diantaranya pada kitab tafsir at-Thabari memaparkan tafsir dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga pada kitab tafsir at-Thabari terdapat cerita-cerita Israiliyat. Berbeda dengan kitab tafsir Ibnu Katsir, beliau sangat kritis terhadap cerita-cerita Israiliyat.

DAFTAR PUSTAKA
Ad-Damsyiqi, Abu al-Fida Ismail ibn Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Beirut: Darul Fikr. 1997
Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz I, Kairo: Dar al-Kutub, 1961
Al-Qatthan, Manna Khalil. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. terj. Mudzakir. Jakarta: Litera Antar Nusa. 1998
Baidan, Nasruddin. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai. 2003
Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-Tafsir Al-Qur’an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka. 1987
Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama R.I. 1984

Idris Madjidi Kalau terjemah ringkasan tafsir Ibnu Katsir sebagian diantaranya tidak shahih.

Muhamad Natsir apa dasar madjid mengatakan dgn sgt meyakinkan bhw itu tdk sahih ?

Idris Madjidi Saya sudah melihat perbedaan buku Terjemah ringkasan tafsir Ibnu Katsir dengan text berbahasa Arab Tafsir Ibnu Katsir, pada sebagian ayat. Contoh tafsir mengenai ayat 35 S Al Maidah.
Untuk lebih meyakinkan Mas Muhamad Natsir, silahkan baca Tafsir Ibnu Katsir yg dulu ada di Pak De Muhtadi dengan Terjemah ringkasan tafsir Ibnu Katsir.

Muhamad Natsir lebih afdhol jika Madjid meng upload teks aslinya dgn terjemahan aslinya lalu menampilkan terjemahan/tafsiran versi Madjid sehingga para pembaca bisa melihat dgn jelas letak ketidak sahihannya krn jika Madjid mengatakan kesimpulan tdk sahih sementara tdk ada dasar yg dipakai pijakannya itu ibarat, jump into conclusion....maaf jika komentar ini kurang berkenan....biarlah pembaca yg menilai. Pandangan Madjid spt nya berdasarkan informasi yg belum final....

Ahmad Nasyith urun info :
Allah swt berfirman : “Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah atau patuhlah kepada Allah swt dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah SWT dan berjuanglah di jalan Allah swt, agar kamu mendapatkan keberuntungan” (QS.Al-Maidah-35).
Berkata Imam Ibn katsir menafsirkan ayat ini :
Wasilah adalah sesuatu yang menjadi perantara untuk mendapatkan tujuan, dan merupakan perantara pula ilmu tentang setinggi tinggi derajat, ia adalah derajat mulia Rasulullah saw di Istana beliau saw di sorga. Dan itu adalah tempat terdekat di sorga ke Arsy, dan telah dikuatkan pd shahih Bukhari dari jalan riwayat Muhammad bin Al Munkadir, dari Jabir bin Abdillah ra, sabda Rasulullah saw : Barangsiapa yg berdoa ketika mendengar seruan (adzan) :Wahai Alla Tuhan Pemilik Dakwah ini Yang Maha Sempurna, dan Shalat Yang didirikan, berilah Muhammad perantara dan anugerah, dan bangkitkanlah untuk beliau saw derajat yg terpuji yg telah Kau Janjikan pada beliau saw, maka telah halal syafaat dihari kiamat”.
Hadits lainnya pada Shahih Muslim, dari hadits Ka;ab dari Alqamah, dari Abdurrahman bin Jubair, dari Abdullah bin Amr bin Al Ash, sungguh ia mendengar Nabi saw bersabda : “Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkan seperti ucapan mereka, lalu bershalawatlah padaku, maka sungguh barangsiapa yang bershalawat padaku sekali maka Allah melimpahkan shalawat padanya 10x, lalu mohonlah untukku wasiilah (perantara), maka sungguh ia merupakan tempat di sorga, tiada diberikan pada siapapun kecuali satu dari hamba Allah, dan aku berharap agar akulah yg menjadi orang itu, maka barangsiapa yg memohonkan untukku perantara, halal untuknya syafaat.
Dan hadits lainnya berkata Imam Ahmad, diucapkan pada kami oleh Abdurrazzak, dikabarkan pada kami dari sofyan, dari laits, dari Ka;ab, dari Abu Hurairah ra : Sungguh Rasulullah saw bersabda : “Jika kalian shalat maka mohonkan untukku wasiilah, mereka bertanya : Wahai Rasulullah, (saw), wasiilah itu apakah? Rasul saw bersabda : Derajat tertinggi di sorga, tiada yg mendapatkannya kecuali satu orang, dan aku berharap akulah orang itu”. Selesai ucapan Imam ibn Katsir. (Tafsir Imam Ibn Katsir pd Al Maidah 35).
ada apa dgn tafsir tsb ???

Idris Madjidi Saya tidak menganggap tidak sahih pada tafsir ibnu katsir, tetapi saya berpendapat terjemah ringkasan tafsir ibnu katsir sebagiannya tidak sahih. mesti dicermati kalimat saya ini,
Suatu tulisan atau riwayat dikatakan sahih setelah memenuhi krteria ygsangat ketat.
Pada terjmah ringkasan tafsir ibnu katsir oleh m nasib arrifai, di pengantarnya dia menulis bahwa a.l. dlm tafsir ibnu katsir terdapat hal-hal yg kotor (hadis dhaif, hadis palsu, israiliyat dll). maka peringkasnya itu membuangnya. itu adalah opini si peringkas. dlm hal ini hadis-hadis dan atsar yg lain pada tafsir ibnu katsir tentu layak ditampikan oleh beliau sbg sebuah tafsir. kalau hanya pengulangan hadis itu layak untuk diringkas, sebagaimana sanad-sanad pada sahih Bukhori yg panjang diringkas.
si peringkas sudah menilai tafsir ibnu katsir mengandung kotoran, tetapi saya sendiri tidak berani menilai tafsir ibnu katsir apakah mengandung kotoran. itulah sehingga saya berpendapat buku ringkasan tafsir itu sebagiannya tidak sahih.
Idris Madjidi Sebagian perbedaan antara tafsir ibnu katsir dengan ringkasannya telah saya upload di notes grup Al Islam ini dg judul "Tafsir Ibnu Katsir Surat AnNisa 64" atau di https://www.facebook.com/groups/462168267127989/484367811574701/.

Idris Madjidi Mengenai tafsir ayat 35 surat Al maidah, pada buku ringkasan telah dihilangkan Nabi Muhammad sebagai wasilah, malah ditambahkan catatan kaki bhw menjadikan nabi Muhammad sbg wasilah itu dilarang.

Ahmad Nasyith kalu tafsir yg sy infokan di atas itu, dari terjemah atas tafsir Ibn Kastir atas QS 5:35, keliatanya memang tidak ada kalimat yg menyebutkan bhw Muhammad saw sebagai wasilah.
1. wasilah : sesuatu yang menjadi perantara untuk mendapatkan tujuan
2. wasilah : adalah "nama" sebuah tempat di surga yg brd dekat dgn arsy, yg merupakan tempat keberadaan Muhammad saw dan sbg rumah (daar) beliau di surga.
kalu yg dimaksud dgn kalimat : " 'ilmun 'aliyyul a'la" manzilatun fil jannah ( ............. yg berada di surga) >> sy blm bisa nangkap maksud kalimat " 'ilmun 'aliyyul a'la " itu, dlm kontek dgn sebuah tempat di surga.
Tapi apapun maksud dr kalimat " 'ilmun 'aliyyul a'la" tsb, tetap saja kok tidak sy temukan kalimat yg menyatakan bhw "Nabi Muhammad sebagai wasilah" .... ??
Idris Madjidi Cobalah baca terjemah ringkasan tafsir ibnu katsir oleh M Nasib ArRifai dan bandingkan dg kitab tafsir aslinya atau minimal yg telah Ahmad Nasyith tulis di atas, maka akan terlihat sebenarnya beda penafsiran di ayat 35 itu antara si peringkas dengan Ibnu Katsir.
Pada tulisan Nasyit itu tidak ada kalimat larangan menjadikan Nabi SAW sbg wasilah, tetapi di dlm terjemah ringkasan tafsir ibnu katsir oleh M Nasib ArRifai cetakan Gema Insani, termuat kalimat panjang berisikan larangan menjadikan Nabi SAW sbg wasilah.
Perbedaan penafsiran ini juga terdapat di ayat 64 An Nisa.
Jadi sebenarnya terdapat perbedaan substansi isi tafsir, bukan sekedar ringkasan
Ini mengingatkan pada kitab taurat dan injil yg karena terdapat beda pendapat dg pendapat rabbi dan pendeta yahudi nasrani, maka diubahlah kitab itu menjadi sesuai dg pendapat mereka, tetapi masih dikatakan itu adalah kitab taurat dan bibel.
Kalau berbeda pendapat, buatlah tafsir sendiri dengan judul tafsir al qur'an menurut M Nasib Ar Rifai misalnya.

Ibadah : Berdasar Dalil Yang Sahih Atau Berdasar Perintah Alloh SWT



Diskusi :

Ibadah : Berdasar Dalil Yang Sahih Atau Berdasar Perintah Alloh SWT?

Tulisan ini adalah diskusi yang berlangsung di Facebook grup Pengajian Al Islam Solo. Diskusinya cukup menarik dan silahkan pembaca menyimpulkannya sendiri.

Idris Madjidi
Seorang teman mengatakan bhw beribadah kpd Alloh SWT harus ada dalilnya yg sahih, kalau tidak itu namanya bid'ah.
Teman yg lain menyampaikan bhw beribadah kpd Alloh itu mengikuti perintah Alloh SWT dan RasulNya SAW. bukan mengikuti perintah hawa nafsunya.

Ahmad Nasyith kalu rujuk pd hadits dlm kitab Tijan nya Mbh Ghozali, hadits no.125 disebutkan dlm hadits riwayat Nasai, Ibn Majah & Ahmad dari Jabir bin abdillah bhw " kulla muhdastatin bid'ah ". Jadi Bid'ah adalah setiap apa yg termasuk MUHDAST (bentuk jama' dari kata IHDAST).
Lalu dlm kitab yg sama pada hadits no. 182 riwayat Thabrani & Durat Mansur dari Ibn Abbas disebutkan bhw IHDAST fi ad-dien adalah idzaa 'amiluu bi ar-ra'yi (ketika melakukan amal dgn dasar ra'yu). Lalu Rasulullah menyampaikan bhw "laa ra'ya fi ad-dien" (tidak ada ra'yu dlm agama) sungguh agama itu adalah dari Allah, perintah Nya & larangan Nya.
Maka dlm ber-agama dgn agama Allah itu hanya ada DALIL NAQLI, sedangkan AQLI harus digunakan utk memahami DALIL NAQLI dgn senantiasa tunduk/rujuk sesuai dgn arahan & batasan yg diterangkan dlm petujuk Allah yg diajarkan Rasulullah. Jadi memakai AQLI bukan dgn cara semaunya sndiri dlm memahami NAQLI, apalagi sampai mensejajarkan antara NAQLI dgn AQLI dlm kapasitasnya sbg dalil dlm agama Allah.

Ahmad Nasyith jadi seorang abdi Allah itu ketika sholat menghadap ke ka'bah itu bukan krn mengikuti aql nya, tapi krn mengikuti dalil naqli. sedangkan menentukan arah yg tepat dari tempat sholat yg jauh ke titik ka'bah, maka si abdi Allah akan menggunakan aql nya agar tidak salah arah >>> jadi aql itu hanyalah sbg wasilah (alat) dlm memenuhi apa yg diperintah atau dilarang dlm dalil NAQLI.
Maka membuat golongan/kelompok sendiri-sendiri krn adanya beda pendapat ttg suatu perkara dlm mnegakkan agama Allah, berdasarkan AQL mrk yg mengatakan bhw akan lebih baik jalan masing2 dgn lembaganya masing2 yg beranggotakan orang2 yg sama visi & misinya, krn akan lebih solid dan fokus dlm mencapai tujuan. Yang penting masing2 lembaga bisa saling menghargai & menghormati dan jgn saling menyalahkan. >>>> padahal Allah jelas2 memerintah agar berjama'ah & tidak membuat pecahan2 (dgn berbagai model & bentuk pecahan) >>> yg begini inilah yg lebih mengikuti AQL drpada NAQL
mestinya AQL nya digunakan utk mencari solusi agar tetap bisa menegakkan agama Allah dgn tanpa harus jatuh kpd larangan Allah sehingga merusak JAMA'AH dgn membuat pecahan2.

Ahmad Nasyith bahkan mungkin ada juga yg ikut2an bikin kelompok/lembaga sendiri bukan krn adanya beda pendapat, tapi hanya krn keinginan diri utk punya kelompok dan jadi pemimpin yg disegani anggotanya.
wal iyaadu billaah.....

Idris Madjidi Saya kira dua pendapat itu benar. Tetapi pendapat bahwa setiap amal ibadah harus menggunakan dalil naqli adalah tafsir atau satu dari beberapa penerapan dari pendapat kedua.

Idris Madjidi Tidak setiap muslim memahami dalil naqli, krn keterbatasannya. Misal seorang muslimah menyusui anaknya, lebih sering karena nalurinya untuk mengasihi anaknya, dibandingkan krn dalil naqli untuk menyusui anaknya. Jadi ibu tadi sebenarnya sudah memenuhi perintah Alloh dan RasulNya yg melalui ilham di hatinya dan tanpa hawa nafsunya.

Ahmad Nasyith "naluri" utk menyusui itulah fitrah seoarang Ibu yg juga adalah bagian dari "kholqu" nya Allah. ( kholqu Allah = bada-a, shana'a, ja'ala, kholaqo, fathara ), tapi sampai pd pemahaman bhw hal itu adalah merupakan "fitrah" Allah pemilik al-qur'an dan krn pengkuan itu kmd dirinya mau "tunduk" (aslama wajhahu) kpd Allah pemilik al-qur'an, maka hal ini tidak merupakan output naluriyah tapi justru menjadi "ujian" bg setiap manusia utk mau mengakui Allah pemilik al-qur'an sbg Sang Pecipta fitrah tsb sebagimana yg telah diwahyukan oleh Allah melalui al-qur'an & penjelasan Rasulullah, atau justru malah "ingkar" (mengingkari wahyu Allah, al-qur'an dan Rasulullah) dan lebih memilih allah yg lain sesuai selera "naluri" nya.
Idris Madjidi Jadi yg penting adalah mengikuti perintah Alloh dan RasulNya bukan mengikuti hawa nafsunya, yg perintah itu bisa melalui Ibunya, Bapaknya, Gurunya dst. Mengetahui dalil dari perintah itu akan menjadikannya lebih sempurna.

Pertanyaan :

Apa dalilnya yang sahih bahwa beribadah kepada Alloh itu harus berdalil dengan dalil yang sahih?

Maulidan : Tasabbuh, Bid’ah atau Sunah Yang Baik?



Maulidan : Tasabbuh, Bid’ah atau Sunah Yang Baik?

Diskusi :

Tulisan ini adalah diskusi yang berlangsung di Facebook grup Pengajian Al Islam Solo. Diskusinya cukup menarik dan silahkan pembaca menyimpulkannya sendiri.

MAULIDAN, adalah perkara ibadah yg ghoir mahdhoh, krn memang kaifiyah acara maulidan tidak termasuk amal yg tauqifi. Jadi SALAH jika mengatakan bhw MAULIDAN adalah BID'AH

Tetapi jika acara MAULIDAN dilihat sbg sebuah bentuk amal tasammuh pd tradisi orang kafir (dari kalangan yahudi, nasrani, dll) yg membuat acara pd hari kelahiran dgn menjadikan yg bermilad menjadi sentral perhatian utk disanjung, diberi hadiah, disuruh potong kue,dll maka dgn tegaknya dalil larangan bertasammuh dan mengikuti millah yahudi & nasrani, otomatis acara MAULIDAN menjadi terlarang. Bukan krn BID'AH tetapi krn melanggar larangan tasammuh.

wallaahu a'lam.....

Ahmad Nasyith Kira2 kalu kemudian para muslimin membuat kreasi yg inovativ dlm hal maulidan, shg tidak lg jatuh pd perkara "tasabbuh" dan/atau bentuk pelanggaran lainya, apa ya bisa dibenarkan nggih...???

Ahmad Nasyith maaf, mestinya bukan "tasammuh", tapi TASABBUH

Idris Madjidi Belum tentu perbuatan suatu kaum yg mirip dg kaum lain itu adalah meniru kaum yg lain itu.
Contoh : sebagian orang jawa sekarang makan menggunakan sendok, dulu pakai tangan saja. apakah orang jawa meniru orang belanda yg lebih dulu makan menggunakan sendok?
sedangkan sunah nabi SAW, makan cukup menggunakan tangan saja, tiga jari saja kalau bisa. apakah orang jawa muslim yg makan menggunakan sendok itu tasabuh kpd kaum kafir dan itu salah?. saya kira tidak sekeras itu, cukup dikatakan makan pakai sendok tidak mengikuti sunah Nabi SAW.
Idris Madjidi Kaum Nasrani dan agama lain mengingat tuhan-tuhan mereka, kaum msulimin juga mengingat Alloh dan NabiNya. Hal itu tidak bisa dikatakan kaum muslimin tassabuh kpd kaum lain.
Kalau kaum muslimin mengingat kisah-kisah Nabi SAW dan kisah-kisah itu dituliskan dg bahasa yg indah (syair). Kemudian kisah-kisah itu dibacakan kepada khalayak sebagai peringatan, supaya ingat dan mencintai Nabinya. Itulah yg dikenal sebagai maulid Nabi SAW. Apakah mengingat kisah Nabi SAW (maulid) itu sesuatu yg salah?
Itu tidak salah. Bila ada hal-hal yg keliru dlm sekatenan dan maulid Nabi terjadi, maka yg keliru itulah yg tidak perlu dilaksanakan.

Ahmad Nasyith lha kalu maulidan, pripun Mas..? apa ya cukup dgn analogi kasus "sendok" itu, lalu sdh selamat dari "tasabbuh"

Ahmad Nasyith kalu dari analogi "mengingat" kisah2 para Nabi, tentunya kembali ke perkara status maulidan sbg ghoir mahdhoh, yg memang terbuka kaifiyahnya selama tidak menabrak larangan Allah & Rasulullah yg sdh "terang" dalilnya.

Idris Madjidi Tassabuh bila menuhankan Nabi sebagaimana mereka menuhankan Yesus. Kalau mengingat dan mencintai Nabi SAW itu adalah kewajiban ummat Islam.

Idris Madjidi Analogi sendok itu dulu saya dapat dari Pak Lik Solihan.

Ahmad Nasyith jgn2 perlu ada terminologi "tasabbuh mahdhoh" dan "tasabbuh ghoir mahdhoh"

Ahmad Nasyith kalu soal tasabbuh "sendok", maka secara perbuatan "memakai" sendok utk makan itu tidak menjadi "ciri khas" yg terkait perkara bentuk hubungan manusia dgn "sesuatu" yg menjadi "ilah" baginya.

Ahmad Nasyith kalu soal merayakan ulang tahun, setidaknya ada penuturan sbb :
Ulang tahun atau yang biasa disebut milad dalam bahasa arab pertama kali dimulai di Eropa. Peryaan ultah pada waktu itu dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat yang akan datang pada orang yang berulang tahun dan para tamu undangan seperti teman atau keluarga berdoa untuk mengusir roh jahat tersebut. Memberikan kado juga dipercaya dapat mengusir roh jahat tersebut. Merayakan ulang tahun sudah dilakuakan sejak dulu. Orang-orang jaman dahulu tidak mengetahui dengan pasti hari kelahiran mereka, karena waktu itu mereka menggunakan tanda waktu dari pergantian bulan dan musim. Sejalan dengan peradaban manusia, diciptakanlah kalender. Kalender memudahkan manusia untuk mengingat dan merayakan hal-hal penting setiap tahunnya, dan ulang tahun merupakan salah satunya. Banyak simbol-simbol yang diasosiasikan atau berhubungan dengan ulang tahun sejak ratusan tahun lalu contohnya kue. Salah satu cerita mengatakan, dahulu bangsa Yunani menggunakan kue untuk persembahan ke kuil dewi bulan, Artemis. Mereka menggunakan kue berbentuk bulat yang merepresentasikan bulan purnama. Simbol lain yang selalu menyertai kue ulang tahun adalah penggunaan lilin ulang tahun di atas kue. Orang Yunani yang mempersembahkan kue mereka ke dewi Artemis juga meletakan lilin-lilin di atasnya karena membuat kue tersebut terlihat terang menyala sepeti bulan. Orang Jerman terkenal sebagai orang yang ahli membuat lilin dan juga mulai membuat lilin-lilin kecil untuk kue mereka. Beberapa orang mengatakan bahwa lilin diletakan dengan alasan keagamaan/religi. Beberapa orang jerman meletakan lilin besar di tengah-tengah kue mereka untuk menandakan “Terangnya Kehidupan”. Yang lainnya percaya bahwa asap dari lilin tersebut akan membawa pengharapan mereka ke surga. Ada juga mitos yang mengatakan bahwa ketika kita memakan kata-kata yang ada di atas kue, kata-kata tersebut akan menjadi kenyataan. Jadi dengan memakan “Happy Birthday” akan membawa kebahagiaan dan dengan meniup lilin-lilin yang ada diatas kue dalam satu tiupan dipercaya akan membawa nasib baik.

Ahmad Nasyith kalu soal amal "menulis" dan "membacakan tulisan", statusnya sperti sendok, jd tdk ada kaitanya dgn urusan terkait "ilah".
tapi kalu tentang materi yg ditulis, yg kemudian dibacakan, itu bisa terkena pelanggaran terkait larangan "ghuluu" atau malah sampai pd "kadzab"

Idris Madjidi Mungkin definisi mauludan dari Ahmad Nasyith, berbeda dengan definisi orang-orang yg suka menyelenggarakan mauludan. Tolong jelaskan oleh Nasyit apa itu definisi mauludan yg masuk dlm katagori tasabuh.

Idris Madjidi Kalau sekatenan di Solo itu sudah menjadi peristiwa budaya, yg dulunya sebagai media dakwah. saat masih kecil, saya nonton sekatenan yg isinya pasar, ombakbanyu, dremolem, brondong, dawet, gunungan. saya kok nggak lihat dakwahnya. mungkin waktu itu saya belum ngeh.
Betul para juru dakwab mestinya membuat inovasi dlm berdakwah sehingga umat menjadi lebih paham agama Islam.

Idris Madjidi Sebenarnya ada banyak tasyabuh yg lain, mis penggantian kalender hijriyah dg kalender masehi, penggantian huruf arab dg huruf latin sbg sistem utama, adopsi sistem perbangkan ribawi, adopsi sistem uang kertas fiat (fiat money), adopsi demokrasi liberal dll yg bisa dikatakan sbg adopsi millah kaum kafir dijadikan menjadi sebagian milah kaum muslimin. Adopsi ini yg lebih berbahaya secara fundamental bagi kaum muslimin, dibandingkan dg peringatan maulud, isra' mikraj, hijriyah dsb.
Kalau kita tanya tokoh-tokoh sistem ekonomi moneter, sistem demokrasi liberal dll maka mereka akan menjawab bhw sistem ekonomi moneter itu memang adopsi dari barat.
Tetapi kalau kita tanya ulama-ulama yg suka memperingati hijrah, maulud , isrok mikraj dll, mereka akan menjawab "tidak meniru kaum agama lain, juga tidak mendapat ide dari natalan dsb".
dan saya kira Sunan Kalijaga menyelenggarakan mauludan sekatenan itu untuk syiar Islam dan tidak meniru natalannya kaum nasrani, walaupun sekarang syiar Islam dlm mauludan sekatenan itu mungkin minim sekali..