Berbaik Sangkalah kepada Alloh SWT
dan Janganlah Berburuk Sangka Kepada Nya
Diantara yang mengaku muslim, ada yang mempunyai pendapat (yang salah) bahwa semua keburukan dan
bencana yang membuat sengsara umat
manusia itu adalah kehendak Alloh SWT.
Tanpa disadarinya, sebenarnya mereka itu telah
berprasangka buruk kepada Alloh SWT.
Ini merupakan bentuk kekurang sempurnaan keimanan
kepada Alloh SWT yang mempunyai nama-nama yang baik (Asma’ul Husna).
Prasangka buruk itu terjadi
disebabkan kekurang dalamnya pengetahuannya mengenai Qadha’ dan Qadar yang merupakan satu
dari enam Kerangka Dasar Iman (rukun iman). Ini terjadi disebabkan
bisikan setan kepada manusia dan jin
supaya selalu berburuk sangka kepada Alloh. Setan akan menjadikannya rusak
ketauhidannya kepada Alloh SWT dan pada akhirnya akan menjerumuskannya ke dalam
neraka sebagai teman di akhirat nanti.
Untuk itu Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dalam kitabnya
yang berjudul “Syifa’ul ‘Alif Fii Masaailii Qodlo Wal Qodar Wal Hikmah Wal
Ta’lil”, yang telah diterjemahkan
menjadi berjudul “Rahasia Takdir (
Suatu Ketetapan)”, menerangkan secara gamblang bahwa :
Jika dikatakan bahwa Alloh itu menghendaki keburukan, maka yang demikian itu diartikan bahwa Dia menyukai dan meridhai. Dan jika
dikatakan bahwa Dia tidak menghendaki
keburukan, maka yang demikian itu
diartikan bahwa Dia tidak menciptakannya.
Kedua hal tersebut terakhir adalah salah dan menyimpang.
Oleh karena itu, jika dikatakan, "Keburukan
itu termasuk perbuatan Alloh",
atau "Alloh itu juga berbuat keburukan".
Maka yang demikian itu benar-benar salah dan sesat. Dan itu mustahil
bagi Alloh Ta'ala.
Yang
benar dan tepat mengenai masalah ini adalah seperti yang diisyaratkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW,
yaitu bahwa keburukan dan kejahatan itu sama sekali
tidak diidhafahkan kepada Alloh Azza wa Jalla, baik dalam hal sifat maupun perbuatan. Dan tidak boleh
pula digunakan dalam penyebutan
nama-Nya. Melainkan keburukan itu
termasuk dalam objek dari hasil ciptaan Nya secara umum.
Dari sifat
dan perbuatan Alloh SWT, diambilkan nama-nama-Nya, yang tidak diambilkan dari makhluk
ciptaanNya. Dan setiap nama-Nya diambilkan dari sifat-sifat yang dimiliki-Nya atau perbuatan
yang dilakukan-Nya.. Dan jika diambilkan
nama bagi-Nya dari makhluk ciptaan-Nya, niscaya akan muncul nama seperti mutaharrik (yang bergerak), saakinan (yang diam), thawil (yang
panjang), abjadh ( putih) dan nama-nama lainnya.
Dengan
demikian, Alloh Azza wa Jalla tidak rnensifati dirinya dengan makhluk ciptaan-Nya yang terpisah dari diri -Nya dan tidak juga memberi nama pada diri-Nya
sendiri dengannya. Oleh karena itu,
ungkapan bahwa Alloh Ta'ala berbuat
adil dengan keadilan makhluk yang terpisah dari-Nya atau berbicara dengan ucapan makhluk yang terpisah dari-Nya, merupakan ungkapan salah dan menyesatkan,
baik menurut logika, dalil naqli, maupun menurut tata bahasa.
Lebih lanjut Ibnu Qoyyim menerangkan
dalam kitabnya itu sebagai berikut :
Bab 1.
Iman Kepada Qadha’ dan Qadar Merupakan Kerangka Dasar Iman
Sebagai orang yang beriman kita harus memahami bahwa takdir itu sama
sekali tidak mengandung suatu hal
yang buruk, bagaimanapun bentuknya. Karena hal itu didasarkan pada ilmu, qudrah, ketentuan dan dan kehendak Alloh SWT.. Bila kita telaah justru takdir mengandung kebaikan dan kesempurnaan murni. Keburukan dan kejahatan, apapun bentuknya sama sekali
tidak dapat dinisbatkan kepada Alloh
SWT, baik terhadap dzat, sifat,
perbuatan maupun asma'Nya.
Sebenarnya
keburukan itu hanya terdapat pada objek takdir itu sendiri. Namun
keburukan itu hanya bagian kecil saja, dan
bagian besar lainnya adalah kebaikan. Misalnya, hukuman qishash dan pembunuhan terhadap orang-orang kafir. Pada satu sisi tertentu, bagi mereka, qishash
dan hukuman mati bagi orang-orang kafir itu merupakan keburukan, namun baik bagi orang lain, karena di dalamnya
terdapat kemaslahatan yang besar dan
perlindungan sebagian manusia atas sebagian lainnya.
Demikian halnya dengan penderitaan dan
juga penyakit , meskipun pada satu sisi mengandung keburukan, namun pada sisi yang
lain banyak mengandung kebaikan.
Jadi, kebaikan dan keburukan itu satu jenis dengan kenikmatan dan penderitaan, manfaat dan madharat.
Keburukan itu terletak pada orang yang
menjalani takdir dan bukan pada sifat dan perbuatan Alloh Tabaraka wa
ta'ala. Jadi, jika tangan seorang pencuri dipotong, maka keburukan, penderitaan dan bahayanya terletak pada
diri si pencuri itu sendiri. Sedangkan qodha' dan qadar-Nya merupakan
suatu hal yang adil, baik, penuh hikmah dan maslahah.
Jadi jika ditanya, apa perbedaan antara
takdir yang baik dan yang buruk, yang manis dan yang pahit?. Maka yang
demikian itu dapat dijawab bahwa yang manis dan yang pahit itu berpulang kepada sebab sebelum takdir itu terjadi. Sedangkan
kebaikan dan keburukan itu kembali kepada baik
dan buruknya akibat. Dengan demikian, hal itu akan manis atau pahit pada perniulaannya, dan akan baik
atau buruk pada akhirnya.
Alloh
Azza wa
Jalla telah memberlakukan sunnah dan aturan-Nya bahwa rasa manis berbagai sarana di awal akan mengakibatkan
rasa pahit di akhir. Sebaliknya, rasa pahit
diawal akan
mengakibatkan rasa manis di
akhir. Jadi manisnya dunia merupakan pahitnya akhirat, dan
pahitnya dunia merupakan manisnya
akhirat.
Selain
itu, hikmah Alloh Azza wa Jalla menetapkan
bahwa kenikmatan itu akan membuahkan
penderitaan, dan penderitaan itu membuahkan kenikmatan. Qadha dan qadar
mempunyai sistem dan pola yang sama dengan itu.
Keburukan itu kembali kepada kenikmatan dan berbagai macam
faktornya. Kebaikan yang diharapkan adalah kenikmatan yang abadi. Sedangkan
keburukan yang sangat dibenci adalah penderitaan yang abadi pula.
Bab 2.
Berprasangka Kepada Alloh Menghendaki Berbuat Keburukan Tidak Dibolehkan
Ada
suatu yang diperselisihkan oleh orang banyak,
bahwa ada sekelompok orang yang mengakui
adanya takdir dan ada orang-orang yang tidak mengakui adanya takdir. Kelompok terakhir ini mengatakan,
"Tidak
diperbolehkan bagi manusia mengatakan bahwa Alloh SWT. menghendaki keburukan, atau mengerjakannya.
Dan yang melakukan keburukan itu disebut
sebagai pelaku keburukan".
Seperti halnya orang yang zalim
disebut sebagi pelaku kezaliman, orang jahat disebut sebagai pelaku kejahatan. Alloh SWT terlepas dari semuanya itu. Tidak ada sifat dan nama-Nya yang mengandung keburukan sama sekali, karena semua namaNya adalah husna (baik). Demikian halnya dengan
semua perhuatan-Nya adalah baik.
Sehingga suatu hal yang mustahil
jika ia menghendaki keburukan dan kejahatan. Keburukan dan kejahatan itu bukan sebagai kehendak dan perbuatan-Nya.
Pendapat orang-orang tersebut di atas tadi ditentang oleh paham Jabariyah, di mana paham ini mengatakan
sebaliknya,
“Alloh Ta'ala itu menghendaki dan berbuat keburukan. Karena keburukan itu ada, sehingga
sudah pasti ada penciptanya. Dan tidak ada pencipta kecuali Alloh Azza wa Jalla. Dan Dia
menciptakan semua makhluk-Nya ini
berdasarkan iradah-Nya. Dengan demikian, setiap makhluk itu merupakan kehendak-Nya dan is merupakan perbuatan-Nya".
Pendapat mereka itu didukung oleh pendukungnya bahwa perbuatan itu adalah objek perbuatan itu sendiri, dan penciptaan itu tidak
lain adalah makhluk itu sendiri.
Seterusnya mereka
mengatakan,
"Keburukan
adalah ciptaan sekaligus sebagai objek penciptaan, dan hal itu jelas merupakan perbuatan dan penciptaan-Nya,
bahkan terjadi berdasarkan
kehendak-Nya”.
Selain itu mereka pun mengatakan,
"Tidak
dikatakannya Tuhan itu menghendaki dan berbuat itu hanya sebatas sebagai etika
semata, sebagaimana secara etis tidak boleh disebut bahwa Alloh itu sebagai Tuhannya anjing dan babi. Tetapi boleh disebut sebagai Tuhan dan pencipta
segala sesuatu”
Mereka juga mengatakan,
"Ungkapan anda bahwa orang jahat adalah orang yang menghendaki dan melakukan kejahatan”. Maka mengenai hal itu
dapat dijawab
melalui dua sisi.
Pertama, letak
permasalahnnya adalah bahwa orang jahat adalah orang yang melakukan kejahatan
itu sendiri. Sedangkan dzat Alloh Ta'ala tidak melakukan kejahatan, karena semua perbuatan-Nya tidak berupa aksi dan
gerakan
dari-Nya, melainkan ia terjadi melalui penciptaan. Dan darinya pula diambil beberapa sebutan, misalnya al-fajir (yang berbuat jahat), al-fasiq (yang berbuat ke
fasikan),
al-mushalli (orang yang mengejakan shalat), al-haj (yang mengerjakan ibadah haji), al-shaaim
(orang berpuasa), dan
lain-lain yang semisal.
Kedua, bahwa nama-nama Alloh SWT itu bersifat tauqiyah. Dia
tidak menyebut dirinya dengan sebutan-sebutan yang baik"
Kata iradah dapat diartikan sebagai kehendak dan juga cinta dan keridhaan.
Iradah dalam pengertian kehendak adalah seperti
yang terdapat dalam firman Alloh SWT. berikut ini:
Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku
hendak memberi nasihat kepada kamu, sekiranya
Alloh hendak menyesatkan kamu*), Dia adalah Tuhanmu dan kepada-Nya-lah
kamu dikembalikan".(Tafsir QS Huud/11 : 34).
Demikian juga dengan firman-Nya :
"Barangsiapa yang Alloh menghendaki akan memberikan petunjuk
kepadanya, niscaya Dia melapangkan
dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa
yang dikehendaki Alloh kesesatannya*) niscaya Alloh menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah
ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Alloh menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman" (Tafsir QS Al-An'am/6 125).
Firman-Nya yang lain:
Dan jika
Kami hendak membinasakan suatu negeri*), maka Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Alloh) tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya. (Tafsir
QS Al-Isra'/17 : 16).
Dan juga firman-Nya ini:
“Dan
Alloh hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya
bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (Tafsir QS An-Nisa' /4:27).
*) Kalimat-kalimat yang diartikan Alloh
mengehendaki keburukan itu semuanya adalah kalimat pengandaian (jika kami,
barang siapa, sekiranya, dsb.). Ini menunjukkan bahwa Alah hanya akan
menjadikan adzab bagi siapa saja yang menyalahi hukumnya.
Serta
firman-Nya yang lain:
"Alloh menghendaki kemudahan
bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian" (Al-Baqarah 185).
Iradah dengan pengertian
di atas tidak mengharuskan terjadinya
objek kehendak, tidak pula mengharuskan kecintaan dan keridhaan-Nya padanya.
Kedua, iradah dalam pengertian yang
tidak mengharuskan terjadinya objek
kehendak, tetapi mengharuskan
kecintaan dan keridhaan Alloh Ta'ala padanya. Iradah dalam pengertian ini tidak
terbagi-bagi, tetapi semua yang menjadi
kehendak-Nya sudah pasti dicintai dan disukai-Nya.
Terdapat
perbedaan antara iradah dari semua perbuatanNya dan iradah dari objek
perbuatan-Nya. Semua iradah dari perbuatan-Nya itu baik, adil penuh
kemaslahatan dan himah, tanpa sedikit
pun keburukan didalamnya. Sedangkan iradah yang kedua masih terdapat beberapa
bagian. Sebagaimana yang telah menjadi
pendapat ahlussunnah bahwa perbuatan itu
berbeda dengan objeknya, dan penciptaan juga berbeda dengan
objeknya.
Yang
demikian itu sudah sangat logis,
dapat diterima oleh akal pikiran sehat, fitrah, dan tata bahasa, dalil
Al-Qur'an, hadist dan ijma' para ulama.
Sebagaimana yang diceritakan Al-Baghawi
dalam bukunya, Syarhu al Sunnah
Berdasarkan
hal tersebut di atas, maka di sini terdapat
dua iradah (kehendak) dan dua muradah (yang menjadi sasaran perbuatan), yaitu:
Pertama, iradah untuk berbuat dan muradahnya adalah perbuatan Alloh Ta'ala.
Kedua, iradah Alloh
untuk menjadikan hamba-Nya berbuat, dan yang menjadi muradahnya adalah objek dari perbuatan tersebut.
Namun
yang demikian itu bukan suatu keharusan. Terkadang Dia menghendaki hamba-Nya berbuat sedang Dia tidak menghendaki untuk membantunya berbuat. Sebagaimana Dia pernah menghendaki Iblis bersujud kcpada Adam, namun demikian Dia tidak menghendaki diri-Nya untuk membantu Iblis supaya dapat
bersujud. Padahal, kalau saja Dia
menghendaki untuk membantunya, niscaya
Iblis itu pasti akan bersujud kepada Adam dan tidak
mungkin tidak.
Sedangkan
firman Alloh Azza wa Jalla: "Alloh maha kuasa berbuat apa yang Dia
kehendaki". (Al-Buruj:16).
Yang demikian itu
merupakan pemberitahuan dari-Nya mengenai iradah untuk perbuatan-Nya dan bukan untuk
hamba-hamba-Nya. Bukankah perbuatan dan
kehendak itu hanya terbagi menjadi
baik dan buruk?
Berdasarkan hal di atas, jika
dikatakan bahwa Dia itu menghendaki
keburukan, maka yang demikian itu diartikan
bahwa Dia menyukai dan meridhai. Dan jika dikatakan bahwa Dia tidak menghendaki keburukan, maka yang demikian itu diartikan bahwa Dia tidak menciptakannya. Kedua hal tersebut terakhir adalah
salah dan menyimpang.
Oleh karena itu, jika dikatakan, "Keburukan itu termasuk
perbuatan Alloh", atau "Alloh itu juga berbuat keburukan". Maka yang demikian itu benar-benar salah dan sesat. Dan itu
mustahil bagi Alloh Ta'ala.
Yang
benar dan tepat mengenai masalah ini adalah seperti yang diisyaratkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW,
yaitu bahwa keburukan dan kejahatan itu sama sekali
tidak diidhafahkan kepada Alloh Azza wa Jalla, baik dalam hal sifat maupun perbuatan. Dan tidak boleh
pula digunakan dalam penyebutan
nama-Nya. Melainkan keburukan itu
termasuk dalam objek dari hasil ciptaan Nya secara umum.
Dari sifat
dan perbuatan Alloh SWT, diambilkan nama-nama-Nya, yang tidak diambilkan dari makhluk
ciptaanNya. Dan setiap nama-Nya diambilkan dari sifat-sifat yang dimiliki-Nya atau perbuatan
yang dilakukan-Nya.. Dan jika diambilkan
nama bagi-Nya dari makhluk ciptaan-Nya, niscaya akan muncul nama seperti mutaharrik (yang bergerak), saakinan (yang diam), thawil (yang
panjang), abjadh ( putih) dan nama-nama lainnya.
Dengan
demikian, Alloh Azza wa Jalla tidak rnensifati dirinya dengan makhluk ciptaan-Nya yang terpisah dari diri -Nya dan tidak juga memberi nama pada diri-Nya sendiri
dengannya. Oleh karena itu, ungkapan bahwa Alloh Ta'ala berbuat
adil dengan keadilan makhluk yang terpisah dari-Nya atau berbicara dengan ucapan makhluk yang terpisah dari-Nya, merupakan ungkapan salah dan menyesatkan,
baik menurut logika, dalil naqli, maupun menurut tata bahasa.
Nama-nama
Alloh SWT. itu syarat dengan makna dan scmuanya
adalah baik, tidak ada satupun nama-Nya yang buruk. Berkenaan dengan hal itu, Dia telah berfirman di dalam sebuah ayat:
"Hanya milik Alloh Asma’ul Husna. Maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma'ul Husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam
menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka
akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan". (Al-A'raf : 180)
Al-Qur'an
dan Sunnah Rasulullah SAW telah menunjukkan
ketetapan sumber-sumber nama-nama Alloh Ta'ala tersebut. Misalnya adalah firman-Nya yang berikut ini :
"Bahwa semua kekuatan itu hanya milik Alloh"
(Al-Bagarah
: 165),
Firman-Nya
yang lain:
"Sesungguhnya Alloh Dialah al-Razzaq (Maha Pemberi
rezeki)
yang mempunyai kekuatan Al-Matin (yang sangat kokoh)" (Al-Dzariyat 58).
Dan
juga firman-Nya:
"Ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur'an itu
diturunkan dengan
ilmu Alloh, dan bahwasannya tiada Tuhan selain Dia" (Huud 14).
Serta ucapan Aisyah ra., "Segala puji bagi Alloh yang pendengaran-Nya
menjangkau semua suara".
Juga
sabda Rasulullah SAW berikut ini:
"Ya
Alloh aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu, aku berlindung dengan ampunan-Mu dan siksaan-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari diri-Mu, Aku tidak dapat
menghitung pujian atas-Mu, Engkau adalah seperti pujian-Mu diri-Mu sendiri".
Dalam buku
Shahihain diriwayatkan sebuah hadits bahwa RasulAlloh SAW setiap kali selesai
mengerjakan shalat senantiasa mengucapkan:
"Tiada tuhan
selain Alloh semata, tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya semua kerajaan dan semua puji-pujian. Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu. Ya Alloh, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi
kepada apa yang Engkau cegah"
Selain
itu, masih ada sabda Rasulullah SAW. yang lain:
"Aku berlindung kepada keperkasaan-Mu supaya
tidak Engkau
sesatkan".
Kalau
tidak ada sumber-sumber, niscaya hilanglah hakikat dari nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Alloh Ta'ala tersebut. Perlu
diketahui, bahwa perbuatan Alloh Ta'ala itu bukanlah sifat-Nya, dan sifatNya bukanlah nama-Nya
dan bukan pula perbuatan-Nya.
----------------------
Disalin dari
buku karangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, “Syifa’ul ‘Alif Fii Masaailii Qodlo Wal
Qodar Wal Hikmah Wal Ta’lil”, yang diterjemahkan menjadi berjudul “Rahasia Takdir ( Suatu Ketetapan)”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar