29 Mar 2013

Satu dari Banyak Cara Setan Mencabut Iman Seseorang




Satu dari Banyak Cara Setan Mencabut Iman Seseorang*)



by Idris Madjidi (Notes) on Friday, August 17, 2012 at 8:17am.

Diterangkan dalam sebuah khabar (hadist riwayat para sahabat Nabi SAW),  bahwasanya setan, yang dilaknat Allah SWT, akan datang kepada seseorang, ketika sedang menghadapi sakaratul maut. Setan itu., duduk di dekat kepala orang tsb., dan berkata “Tinggalkan agama (Al-Islam) ini, dan ucapkanlah olehmu bahwa tuhan itu ada dua, maka kamu akan lepas dari kesusahan ini, (yaitu perasaan haus yang amat sangat besar ketika sedang sekarat).
Bila kejadian sebagaimana tsb., di atas terjadi padamu, maka hal itu akan sangat dikhawatirkan (lepasnya imanmu kepada Allah SWT). Untuk itu semestinya kamu agar banyak menangis dan merendahkan diri di hadapan Allah SWT, dan menghidupkan malam dengan memperbanyak rukuk dan sujud (sholat malam), sehingga kamu selamat dari adzab Allah SWT (akibat mengikuti setan terkutuk).
Imam Abu Hanifah pernah ditanya “Dosa apakah yang paling ditakutkan sebagai penyebab  dicabutnya iman”. Beliau menjawab “Dosa itu diantaranya adalah :
-         tidak mensyukuri iman,
-         tidak takut su’ul khotimah (meninggal dengan tidak membawa iman),
-         suka menganiaya yang lain ,
dan barang siapa yang memiliki sifat-sifat yang tiga tsb.,  maka dikhawatirkan ia akan mati dalam keadaan kafir, kecuali orang-orang yang  mendapatkan keselamatan”.
Diceritakan bahwa keadaan orang yang sekarat, akan mengalami kesusahan yang amat sangat, yaitu ketika perasaan amat sangat haus dan perut serasa  terbakar. Pada saat itu setan mendapatkan kesempatan untuk mencuri iman seorang mukmin. Setan dalam (wujud seorang manusia) datang mendekati mukmin tadi sambil  membawa segelas air yang sangat sejuk. Ia menggerak-gerakkan gelas itu (seakan menawarkan kepada mukmin yang sedang menghadapi sekarat itu.). Maka berkatalah mukmin tadi “Berikan air itu., kepadaku”. Mukmin tadi belum mengetahui bahwa orang itu., sesungguhnya adalah setan. Maka berkatalah setan itu kepadanya “Ucapkan olehmu bahwa alam ini tidak ada yang menciptakan, maka saya akan memberikan air ini kepadamu”. Apabila mukmin tsb., bisa menjaga keselamatan dirinya (masih tetap dalam iman kepada Allah SWT), ia tidak akan menjawabnya (atau menggelengkan kepala tanda tidak setuju dengan maunya setan). Kemudian mukmin tadi berkata “Berikan air itu kepadaku”. Jawab setan itu “Anggaplah bohong Rasulullah, maka aku akan memberikan air ini kepadamu”. Apabila mukmin tadi akan mendapat kecelakaan (tidak bisa menjaga imannya), maka ia mengikuti permintaan setan (dengan tanda mengiyakan atau sekedar mengganggukkan kepala atau mata), karena ia tidak kuat merasakan haus yang sangat dahsyat. Akibatnya ia keluar dari dunia ini dalam keadaan kafir. (Aku berlindung kepada Allah SWT dari kejadian ini).
Tetapi apabila mukmin tadi akan mendapatkan kebahagiaan, maka ia akan menolak ajakan setan itu, dan ia akan berpikir siapakah orang yang ada didepannya.
Telah diriwayatkan bahwasanya Syekh Abu Zakariya ketika menghadapi sakaratul maut, datang sahabat beliau untuk menjenguknya. Sahabat itu menuntun beliau mengucapkan kalimah “Laa ilaaha illallooh”, tetapi beliau (seperti) menolaknya. Kemudian sahabat tadi menuntun untuk ke dua kalinya, tetapi tetap saja beliau (seperti) menolaknya. Kemudia sahabat itu menuntun lagi untuk yang ke tiga  kalinya, tetapi beliau menjawab “Aku tidak akan mengucapkannya”. Kemudian Syekh Abu Zakariya pingsan di pangkuan sahabatnya. Setelah beberapa saat, beliau sadar dan membuka matanya, lantas beliau bertanya kepada para sahabat di sekitarnya, “Apakah kalian mengatakan sesuatu kepadaku?. Mereka menjawab, “Ya, Kami semua menuntunmu membaca kalimat syahadat sebanyak tiga kali, tetapi engkau menolaknya sebanyak dua kali dan yang ke tiga kalinya engkau berkata “Aku tidak akan mengucapkannya”. Maka berkatalah Syekh Abu Zakariya :
“Telah datang iblis kepadaku sambil membawa segelas air, kemudian dia berada di sebelah kananku, sambil menggerak-gerakkan gelas itu dan berkata kepadaku “Apakah kamu membutuhkan air ini”. Maka aku menjawabnya “Tentu aku sangat membutuhkannya”. Berkata lagi iblis itu “Ucapkan olehmu bahwa Isa itu anak Alloh”, maka aku menolaknya. Kemudian dia ucapkan lagi seperti tadi, maka akupun menolaknya lagi. Kemudian dia pindah ke sebelah kiriku dan menyuruhku mengucapkan seperti tadi, dan akupun menolaknya lagi. Dan yang ketiga kalinya dia berkata “Ucapkan bahwa tiada Tuhan”, maka aku menjawab “saya tidak akan mengucapkannya”. Kemudian dia melemparkan gelas itu ke tanah dan pergi dariku. Dan aku berkata kepadanya “Selama-lamanya aku tidak akan mengikuti perintahmu, sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Nabi Muhammad adalah hamba dan utusanNya”.
Berkaitan dengan khobar (hadist)  di atas, diriwayatkan dari Manshur bin Ammar, beliau berkata :
Apabila telah dekat kematian seseorang, maka dibagilah keadaannya kepada lima bagian :
  1. Hartanya untuk ahli warisnya.
  2. Ruhnya untuk malaikat maut.
  3. Dagingnya untuk belatung.
  4. Tulangnya untuk tanah.
  5. Kebaikannya untuk para penagih,
dan setan sebagai pencabut iman seseorang.

Kemudian beliau berkata lagi :
-         Apabila ahli waris pergi membawa hartanya, maka wajarlah.
-         Apabila malaikat maut pergi membawa ruhnya maka wajar pula.
-         Apabila belatung memakan dagingnya, maka wajar pula.
-         Dan wajar pula bila para penagih pergi dengan membawa kebaikan-kebaikannya.
Tetapi sungguh jangan sampai setan pergi membawa iman seseorang. Karena sesungguhnya bila iman kita hilang (diambil oleh setan), maka berarti kita berpisah dengan agama. Karena berpisahnya ruh dengan jasad bukan berarti berpisah dengan Tuhan (murtad).
Apabila kita mati, kita tidak akan bertemu lagi dengan jasad kita, karena kita tidak membutuhkannya lagi. Sedangkan agama harus terus dibawa, karena agama itu sangat kita butuhkan untuk mendapatkan keridloan Allah SWT. Alangkah ruginya seseorang, apabila imannya hilang ketika mati.
Wallaahu a’lam bisshowab
Diterjemahkan oleh Ust. Ahmad Zakariya (Al Maqom Cibabat – Cimahi)
Rabbiul Awwal 1429H.



*)Terjemah Kitab Daqoiqul Akhbar karya Imam Abdurrahim bin Ahmad Al Qodhi, bab 8.

Diskusi :

Ahmad Fadholi Like, tapi saya punya opini sendiri perihal kitab kitab mawaidz semacam daqoiq, durrotun nasihin dsb yaitu tentang takhrij hadits secara umum

Muhamad Natsir Membaca posting diatas, saya jadi ingat Beberapa Kisah Akhir Hidup yang Begitu Buruk ini....semoga ini bisa jadi renungan kita bersama...

Ada suatu kisah yang menunjukkan seseorang yang terlalu sibuk dengan dunia sehingga lupa akan akhirat. Lihatlah bagaimanakah akhir hidupnya.

Ia seorang pedagang kain yang biasa menjual kain. Tatkala sakratul maut ia bukan menyebut kalimat yang mulia “laa ilaha illallah”, namun yang ia sebut adalah, “Ini kain baru, ini kain baru. Ini pas untukmu. Kain ini amat murah.” Akhirnya ia pun mati setelah mengucapkan kalimat semacam itu. Padahal kalimat terbaik yang diucapkan saat sakratul maut adalah kalimat laa ilaha illallah.

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Barang siapa yang akhir perkataannya adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)

Ada juga orang yang kesehariannya sibuk bermain catur. Ketika sakratul maut, ia diperintahkan untuk menyebut kalimat “laa ilaha illallah”. Namun apa yang ia katakan kala maut menjemput? Ia malah mengucapkan, “Skak!” Lalu ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mati bukan menyebut kalimat tahlil, namun menyebut kata “skak”. Wallahul musta’an.

Ada pula orang yang kesehariannya biasa menegak arak (khomr). Ketika maut menjemput, ia ingin ditalqinkan (dituntun baca kalimat tahlil, laa ilaha illallah). Namun apa yang ia ucapkan? Ia malah berkata saat sakratul maut, “Mari tuangkan arak untukku, minumlah!” Lantas ia pun mati dalam keadaan seperti itu. Laa haula quwwata illa billah ‘aliyyil ‘azhim.[1]

Pengaruh Teman Bergaul yang Buruk Semasa Hidup

Ulama tabi’in, Mujahid rahimahullah berkata, “Barangsiapa mati, maka akan datang di hadapan dirinya orang yang satu majelis (setipe) dengannya. Jika ia biasa duduk di majelis orang yang selalu menghabiskan waktu dalam kesia-siaan, maka itulah yang akan menjadi teman dia tatkala sakratul maut. Sebaliknya jika di kehidupannya ia selalu duduk bersama ahli dzikir (yang senantiasa mengingat Allah), maka itulah yang menjadi teman yang akan menemaninya saat sakratul maut.”[2]

Bukti dari perkataan Mujahid di atas terdapat pada kisah Abu Tholib berikut ini.

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لأَبِى طَالِبٍ « يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ » . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Ketika menjelang wafatnya Abu Tholib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya dan ternyata sudah ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah bin Al Mughirah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, kepada Abu Tholib, “Wahai pamanku katakanlah laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang dengannya aku akan menjadi saksi atasmu di sisi Allah”. Maka berkata, Abu Jahal dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu akan meninggalkan agama ‘Abdul Muthalib?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan kalimat syahadat kepada Abu Tholib dan bersamaan itu pula kedua orang itu mengulang pertanyaannya yang berujung Abu Tholib pada akhir ucapannya tetap mengikuti agama ‘Abdul Muthalib dan enggan untuk mengucapkan laa ilaaha illallah.”(HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 24)

Akibat Maksiat dan Godaan Syaithon

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya dosa, maksiat dan syahwat adalah sebab yang dapat menggelincirkan manusia saat kematiaanya, ditambah lagi dengan godaan syaithon. Jika maksiat dan godaan syaithon terkumpul, ditambah lagi dengan lemahnya iman, maka sungguh amat mudah berada dalam su’ul khotimah (akhir hidup yang jelek).”[3]

Agar Selamat dari Su’ul Khotimah

Ibnu Katsir rahimahullah kembali melanjutkan penjelasannya:

“Su’ul khotimah (akhir hidup yang jelek)—semoga Allah melindungi kita darinya—tidaklah terjadi pada orang yang secara lahir dan batin itu baik dalam bermuamalah dengan Allah. Begitu pula tidak akan terjadi pada orang yang benar perkataan dan perbuatannya. Keadaan semacam ini tidak pernah didengar bahwa orangnya mati dalam keadaan su’ul khotimah sebagaimana kata ‘Abdul Haq Al Isybili. Su’ul khotimah akan mudah terjadi pada orang yang rusak batinnya dilihat dari i’tiqod (keyakinannya) dan rusak lahiriahnya yaitu pada amalnnya. Su’ul khotimah lebih mudah terjadi pada orang yang terus menerus dalam dosa besar dan lebih menyukai maksiat. Akhirnya ia terus menerus dalam keadaan berlumuran dosa semacam tadi sampai maut menjemput sebelum ia bertaubat.”[4]

Jika telah mengetahui hal ini dan tidak ingin kehidupan kita berakhir buruk sebagaimana kisah-kisah yang telah kami utarakan di atas, maka sudah sepantasnya kita menyegerakan taubat terhadap semua dosa yang kita perbuat, baik itu dosa kesyirikan, bid’ah, dosa besar dan maksiat. Begitu pula segeralah kita kembali taat pada Allah dengan mengawali segalanya dengan ilmu. Kita tidak tahu kapan nyawa kita diambil. Entah besok, entah lusa, entah minggu depan, boleh jadi lebih cepat dari yang kita kira. Yang tua dan muda sama saja, tidak ada yang tahu bahwa ia akan berumur panjang. Selagi masih diberi kesempatan, selagi masih diberi nafas, teruslah bertaubat dan kembali taat pada-Nya. Lakukan kewajiban, sempurnakan dengan amalan sunnah. Jauhi maksiat dan berbagai hal yang makruh. Jangan sia-siakan waktu, teruslah isi dengan kebaikan.

Moga Allah mematikan kita dalam keadaan husnul khotimah dan menjauhkan kita dari akhir hidup yang jelek, su’ul khotimah. Amin Yaa Mujibas Saailin.

Muhamad Natsir rujukan :[1] Kisah-kisah ini kami peroleh dari risalah mungil yang berjudul ‘Alamaatu Husnul Khotimah wa Su’uha, terbitan Darul Qosim.

[2] Tadzkiroh, Al Qurthubi, Asy Syamilah, 1/38

[3] Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/184 (sesuai standar).

[4] Idem.

Ading Riyadi Terimakasih atas pencerahan dan tanggapan yang begitu menyentuh saya, semoga Allah mematikan kita dalam keadaan husnul khotimah dan menjauhkan kita dari akhir hidup yang jelek, su’ul khotimah. Amin Yaa Mujibas Saailin

1 komentar: