29 Mar 2013

Hidup Manusia dan Pengelolaan Risikonya



Hidup Manusia dan Pengelolaan Risikonya

I. Mukadimah


QS Al Kahfi/18: 84-85
Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi, dan Kami telah memberikan sesuatu sebab (jalan), maka dia pun menempuh suatu sebab (jalan)”.

QS Yunus/10:39
 Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan. Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang dzalim itu”.

QS Ar Ruum/30:9
“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku dzalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku dzalim kepada diri sendiri”.

Setelah menyimak beberapa ayat di atas, kita dapat  menyimpulkan bahwa keberhasilan seorang manusia tergantung kepada, apakah manusia  tsb., memahami dan mengikuti atau menempuh sebab-sebab ataupun jalan-jalan  sehingga dia mencapai apa yang ditujunya. Kesimpulan ini juga berarti bahwa bila manusia tsb., mengikuti sebab/jalan yang menjadikan dirinya gagal maka dia akan menemukan kegagalan atau tidak berhasil mencapai tujuannya. Sebab-sebab kegagalan ini disebut dzalim atau tertutup (sadar atau tidak sadar). Dzalim bisa berarti mendustakan terhadap apa yang belum diketahuinya dengan sempurna, daan tidak berusaha mempelajari sejarah kegagalan manusia. Manusia tidak dibenarkan untuk menuduh bahwa Allah lah penyebab kegagalan itu, karena Allah yang bersifat ArRahman dan ArRahim, tidak pernah atau akan berbuat zalim kepada manusia.
Setiap manusia tentu menginginkan diri dan keluarganya berhasil dalam hidupnya. Keberhasilan ini diukur relatif terhadap tujuan hidupnya.
Untuk itulah manusia seharusnya
1.     Memahami dan menentukan tujuan hidupnya.
2.     Memahami dan menjalankan semua proses atau aktifitas atau amal perbuatan yang menjadikan tujuan hidupnya tercapai.
3.     Mengetahui, memahami dan mengatasi semua rintangan yang telah dan akan dihadapinya.
4.     Mengelola diri dan keluarganya sehingga tercapai tujuan hidupnya dengan istiqomah dengan jalan lurus yang telah dipahaminya denga  benar.

II. Mengetahui, Memahami dan Menentukan Tujuan Hidup

Sebagai manusia muslim yang beriman tentunya kita, menggunakan Al Qur’an sebagai acuan utama dalam memahami dan menentukan tujuan hidup kita.
Perhatikan ayat-ayat Al Qur’an sbb :

QS adz-Dzaariyaat/51: 56 : 

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.

Sebenarnya semua makhluk diperintah untuk menyembah atau beribadah kepada Allah SWT, tetapi karena Al Qur’an diberikan sebagai petunjuk terutama kepada manusia dan jin maka yang disebut dalam ayat tersebut di atas adalah manusia dan jin.

QS Shaad/38:26 :
”Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Ayat tsb., walaupun menceritakan mengenai Nabi Daud AS, dapat diqiaskan kepada manusia mukmin, bahwa sesungguhnya mukmin itu agar menjadi khalifah di bumi. Menjadi khalifah berarti mengelola manusia bumi dengan adil dan tidak menuruti hawa nafsu. Hal itu berarti tidak menjadikan bumi sebagai acuan/tujuan hidup. Acuan/tujuan hidup manusia mukmin adalah beribadah kepada Allah SWT. Dunia (harta, anak, tahta, dsb.,) cukup dijadikan sebagai prasarana/sarana/kendaraaan untuk tercapainya hasilnya, yaitu tujuan hidup sebenarnya, yaitu ibadah untuk menuju alam akhirat. Tidak sedikit ulama menjadikan agama (tatacara beribadah untuk  menuju alam akhirat) sebagai kendaraan untuk mencapai dunianya.

QS Al Anbiya/21: 107

Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam

QS Al Fath/48 :29

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Nabi Muhammad di utus untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, begitupun kaum mukmin yang bersama beliau bersifat kasih sayang. Jadi tugas hidup mukmin juga untuk menebar rakhmat untuk alam semesta.
Mengapa kaum muslim saat ini tidak menjadikan rakhmat di dunia, karena hidup kaum muslim tsb yang salah prosedur. Bila prosedur yang digunakan tidak sesuai dengan ketentuan Allah, maka yang akan terjadi adalah laknat untuk dunia.

QS Al Ahzab/33:72 :

”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah* kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh,”
(*Yang dimaksud dengan amanah di sini ialah tugas-tugas keagamaan)

Tugas-tugas keagamaan yang sangat berat tsb. jika dikerjakan sendiri, maka kegagalan yang akan didapat. Tetapi bila tugas tsb., dilaksanakan dengan berjamaah, maka peluang keberhasilannya akan lebih besar.

QS Al Maidah/5:105 :
”Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.


QS At Tahriim/66:6;

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”

QS Maryam/19 :71-72

“Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut”.

QS Al Fajr 27-30

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”

Kesimpulan Awal

Setelah memperhatikan ayat-ayat tsb., dapat disimpulkan bahwa misi dan tujuan hidup manusia muslim-mukmin yang taat dan beriman kepada Allah SWT, antara lain :
a.      Beribadah kepada Allah, menurut aturan-aturan Nya.
b.     Melaksanakan amanah untuk beribadah kepada Allah, yang antara lain menjadi pemimpin-pengelola alam (pemimpin: diri sendiri, keluarga, atau suatu kaum) dan meneruskan perjuangan para nabi terutama Nabi Muhammad SAW, untuk menjadikan rahmat Allah mewujud di alam semesta ini.
c.      Memelihara diri dan keluarga dari api neraka dan kembali kepada kepada rahmat  Ar Rahim Allah SWT, yaitu diridhai-Nya dan masuklah ke dalam syurga-Nya.

 

III. Memahami Dan Menjalankan Semua Proses Untuk Mencapai Tujuannya


Perhatikan ayat-ayat Al Qur’an sbb :

QS  Al Fatihah/1: 5-7

Hanya kepadaMu (Ya Alloh) kami menyembah dan hanya kepadaMu pada hakekatnya kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalannya mereka (para nabi, shidiqin, syuhada, sholihin) yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalannya mereka yang Engkau murkai, dan bukan jalannya mereka yang sesat.

QS: Al Baqarah/2 : 208

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut  langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu ". QS: Al Baqarah/2 : 208.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang Shiddiq ". QS. At Taubah/9 : 119.

"Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama sama orang-orang yang ruku". QS. 2/43.

QS. Ash Shaff/61: 10 – 12
-   Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih?
-   (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya,
-   niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.

QS Al Imran/3:103

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

QS Al ‘Ashr/103  :

 “Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran”

Dan banyak ayat lain...........

Sampai ke suatu akhir proses amal manusia :

QS Ar Ruum/30:57:

“Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya).".  “Maka pada hari itu tidak bermanfaat (lagi) bagi orang-orang yang dzalim permintaan udzur mereka, dan tidak pula mereka diberi kesempatan bertobat lagi.”


Setelah memperhatikan ayat-ayat tsb., dapat disimpulkan bahwa proses yang dilakukan untuk mencapai tujuan manusia muslim yang beriman antara lain :
a.      Menjalankan Al-Islam secara keseluruhannya, dan tidak menuruti langkah-langkah setan. Yang dapat diartikan bahwa dalam setiap aktifitas kita, seharusnya kita selalu berpikir apakah setiap aktifitas tsb., berkaitan dengan dukungan untuk mencapai tujuan hidup manusia menurut Al Qur’an tsb., atau sebaliknya malah menggagalkannya. Jadi setiap aktifitas bisa dikategorikan :
-         Wajib, bila aktifitas diperlukan sebagai modal untuk mendukung tujuan hidup tsb,
-         Sunah, bila aktifitas diperlukan untuk menambah modal atau menutup kerugian dalam mendukung tujuan hidup tsb.,
-         Haram, bila aktifitas dilaksanakan hanya mengurangi  modal atau menambah kerugian dalam mendukung tujuan hidup tsb.,
-         Mubah, bila aktifitas dilaksanakan tidak mengurangi  modal atau tidak menambah kerugian dalam mendukung tujuan hidup tsb.  Dalam derajad manusia yang lebih tinggi, aktifitas mubah ini, berarti menyia-nyiakan modal waktu manusia yang sangat sedikit atau sangat terbatas.
b.     Berjamaah/berorganisasi dalam menjalankan kehidupan untuk beribadah,
-         dengan bekerja sama dalam beribadah/beraktifitas meniti jalan yang lurus,
-         saling mengingatkan dalam kebenaran dan sabar, supaya efektif dan tidak tersesat,
-         memahami dan berhati hati dalam beramal sholeh karena adanya rintangan-rintangan (antara lain adanya setan yang merintangi jalan)


IV. Memahami dan Mengatasi Semua Rintangan Yang Telah Dan Akan Dihadapinya dalam Rangka Mencapai Tujuan

    
Menurut Imam Ghozali dalam Kitab Minhajul Abidin, rintangan yang dihadapi manusia dalam beribadah kepada Allah SWT sbb :
  1. Dunia
  2. Manusia
  3. Setan
  4. Hawa nafsu


4.1. Dunia

QS Al Baqoroh/2: 86 :
“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”.
QS Al Baqoroh/2: 212 :
“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas”.
QS Al Hadiid/57:20 :
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

4.2. Manusia


QS Al An’aam/6: 116 :

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)*”.
(*Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah, menyatakan bahwa Allah mempunyai anak).

Ibnu Mas'ud r.a. menceritakan pula kepada Harits bin Umairah suatu hadis nabi :


"Jika umurmu panjang kelak akan tahu bahwa akan datang satu zaman dimana banyak ahli pidato tetapi sedikit orang yang alim. Dan banyak peminta sedikit pemberi, dan hawa nafsu mengalahkan ilmu. Ibnu Umairah bertanya, "Ya Rasulullah, kapan akan terjadi zaman itu?",  Rasulullah Saw. menjawab : "Yaitu jika salat tidak lagi menjadi pehatian, suap menyuap telah membudaya, dan agama telah dijual untuk kepentingan dunia. Maka, carilah keselamatan, carilah keselamatan!"

4.3. Setan

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS Faathir/35: 6)
''Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).'' (QS Al-A'raf/7:16-17).
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS Al Baqarah/2:168).
“'Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.' (QS Ala'raf/7:27).

4.4. Hawa Nafsu


QS Al Furqon/25: 43

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”

QS Al Jatsiah/45:23 :

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
1384]. Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.

QS Asy Syuura/42:15 :
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya lah kembali (kita)"

QS Al Qashas 50 :
Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.”
Menurut Imam Ghozali, mengelola hawa nafsu ini adalah yang paling sulit diantara rintangan-rintangan lain yang telah disebutkan di atas.

 

Kesimpulan Akhir

Memahami tujuan hidup menjadi kewajiban setiap manusia yang beriman. Manusia yang beriman diwajibkan menjalankan aktifitas yaitu beramal sholeh (a.l. Sholat, puasa, zakat, haji dsb.) untuk mencapai derajad ketaqwaan.  Untuk mencapai derajad taqwa banyak rintangan dan cobaan yang akan dihadapi.
Rintangan-rintangan berupa dunia, manusia, setan, hawa nafsu dan lain-lain rintangan tsb., dapat menimbulkan risiko pada diri manusia sehingga manusia menyimpang dari tujuannya semula.
Kita, sebagai manusia yang beriman, seharusnya memahami semua rintangan kita, sehingga kita mengetahui cara untuk mengatasi dan mengelola diri kita dalam menjalankan semua aktifitas kita di dunia maupun di alam barzah.
Kemudian untuk mencapai tujuan hidup kita yang hakiki secara efektif kita menggunakan metoda-metoda yang kita pelajari dari berbagai sumber yang haq : Al Qur’an, Al Hadist, Ulama pewaris Nabi yang bisa menjelaskan perintah Alloh dan RasulNya secara sahih. dsb.

Bandung, 24 Ramadhan 1427 H / 16 Oktober 2006
Idris Madjidi

Berbaik Sangkalah kepada Alloh SWT dan Janganlah Berburuk Sangka Kepada Nya



Berbaik Sangkalah kepada Alloh SWT

dan Janganlah Berburuk Sangka Kepada Nya


Diantara yang mengaku  muslim, ada yang mempunyai pendapat  (yang salah) bahwa semua keburukan dan bencana yang  membuat sengsara umat manusia itu adalah kehendak Alloh SWT.
Tanpa disadarinya, sebenarnya mereka itu telah berprasangka buruk kepada Alloh SWT.
Ini merupakan bentuk kekurang sempurnaan keimanan kepada Alloh SWT yang mempunyai nama-nama yang baik (Asma’ul Husna). 
Prasangka buruk  itu terjadi disebabkan kekurang dalamnya pengetahuannya mengenai Qadha’ dan Qadar yang merupakan satu dari enam Kerangka Dasar Iman (rukun iman). Ini terjadi disebabkan bisikan setan kepada  manusia dan jin supaya selalu berburuk sangka kepada Alloh. Setan akan menjadikannya rusak ketauhidannya kepada Alloh SWT dan pada akhirnya akan menjerumuskannya ke dalam neraka  sebagai teman di akhirat nanti.

Untuk itu Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dalam kitabnya yang berjudul “Syifa’ul ‘Alif Fii Masaailii Qodlo Wal Qodar Wal Hikmah Wal Ta’lil”,  yang telah diterjemahkan menjadi berjudul  “Rahasia Takdir ( Suatu Ketetapan)”, menerangkan secara gamblang  bahwa  :
Jika dikatakan bahwa Alloh itu menghendaki keburukan, maka yang demikian itu diartikan bahwa Dia menyukai dan meridhai. Dan jika dikatakan bahwa Dia tidak menghendaki keburukan, maka yang demikian itu diartikan bahwa Dia tidak menciptakannya. Kedua hal tersebut terakhir adalah salah dan menyimpang.
Oleh karena itu, jika dikatakan, "Keburukan itu termasuk perbuatan Alloh", atau "Alloh itu juga berbuat keburukan". Maka yang demikian itu benar-benar salah dan sesat. Dan itu mustahil bagi Alloh Ta'ala.
Yang benar dan tepat mengenai masalah ini adalah seperti yang diisyaratkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW, yaitu bahwa keburukan dan kejahatan itu sama sekali tidak diidhafahkan kepada Alloh Azza wa Jalla, baik dalam hal sifat maupun perbuatan. Dan tidak boleh pula digunakan dalam penyebutan nama-Nya. Melainkan keburukan itu termasuk dalam objek dari hasil ciptaan­ Nya secara umum.
Dari sifat dan perbuatan Alloh SWT, diambilkan nama­-nama-Nya, yang tidak diambilkan dari makhluk ciptaan­Nya. Dan setiap nama-Nya diambilkan dari sifat-sifat yang dimiliki-Nya atau perbuatan yang dilakukan-Nya.. Dan jika diambilkan nama bagi-Nya dari makhluk ciptaan-Nya, niscaya akan muncul nama seperti mutaharrik (yang bergerak), saakinan (yang diam), thawil (yang panjang), abjadh ( putih) dan nama-nama lainnya.
Dengan demikian, Alloh Azza wa Jalla tidak rnensifati dirinya dengan makhluk ciptaan-Nya yang terpisah dari diri Nya dan tidak juga memberi nama pada diri-Nya sendiri dengannya. Oleh karena itu, ungkapan  bahwa Alloh Ta'ala berbuat adil dengan keadilan makhluk yang terpisah dari­-Nya atau berbicara dengan ucapan makhluk yang terpisah dari-Nya, merupakan ungkapan salah dan menyesatkan, baik menurut logika, dalil naqli, maupun menurut tata bahasa.

Lebih lanjut Ibnu Qoyyim menerangkan dalam kitabnya itu sebagai berikut :

Bab 1.

Iman Kepada Qadha’ dan Qadar Merupakan Kerangka Dasar Iman

Sebagai orang yang beriman kita harus mema­hami bahwa takdir itu sama sekali tidak mengandung suatu hal yang buruk, bagaimanapun bentuknya. Karena hal itu didasarkan pada ilmu, qudrah, ketentuan dan dan kehendak Alloh SWT.. Bila kita telaah justru takdir mengandung kebaikan dan kesempurnaan murni. Keburukan dan kejahatan, apapun bentuknya sama sekali tidak dapat dinisbatkan kepada Alloh SWT, baik terhadap dzat, sifat, perbuatan maupun asma'Nya.
Sebenarnya keburukan itu hanya terdapat pada objek takdir itu sendiri. Namun keburukan itu hanya bagian kecil saja, dan bagian besar lainnya adalah kebaikan. Misalnya, hukuman qishash dan pembunuhan terhadap orang-orang kafir. Pada satu sisi tertentu, bagi mereka, qishash dan hukuman mati bagi orang-orang kafir itu merupakan keburukan, namun baik bagi orang lain, karena di dalamnya terdapat kemaslahatan yang besar dan perlindungan sebagian manusia atas sebagian lainnya.
Demikian halnya dengan penderitaan dan juga penya­kit , meskipun pada satu sisi mengandung keburukan, namun pada sisi yang lain banyak mengandung kebaikan.
Jadi, kebaikan dan keburukan itu satu jenis dengan kenikmatan dan penderitaan, manfaat dan madharat.
Keburukan itu terletak pada orang yang menjalani takdir dan bukan pada sifat dan perbuatan Alloh Tabaraka wa ta'ala. Jadi, jika tangan seorang pencuri dipotong, maka keburukan, penderitaan dan bahayanya terletak pada diri si pencuri itu sendiri. Sedangkan qodha' dan qadar-Nya merupakan suatu hal yang adil, baik, penuh hikmah dan maslahah.
Jadi jika ditanya, apa perbedaan antara takdir yang baik dan yang buruk, yang manis dan yang pahit?. Maka yang demikian itu dapat dijawab bahwa yang manis dan yang pahit itu berpulang kepada sebab sebelum takdir itu terjadi. Sedangkan kebaikan dan keburukan itu kembali kepada baik dan buruknya akibat. Dengan demikian, hal itu akan manis atau pahit pada perniulaannya, dan akan baik atau buruk pada akhirnya.
Alloh Azza wa Jalla telah memberlakukan sunnah dan aturan-Nya bahwa rasa manis berbagai sarana di awal akan mengakibatkan rasa pahit di akhir. Sebaliknya, rasa pahit  diawal akan  mengakibatkan rasa  manis di akhir. Jadi manisnya dunia merupakan pahitnya akhirat, dan pahitnya dunia merupakan manisnya akhirat.
Selain itu, hikmah Alloh Azza wa Jalla menetapkan bahwa kenikmatan itu akan membuahkan penderitaan, dan penderitaan itu membuahkan kenikmatan. Qadha dan qadar mempunyai sistem dan pola yang sama dengan itu.

Keburukan itu kembali kepada kenikmatan dan berbagai macam faktornya. Kebaikan yang diharapkan adalah kenikmatan yang abadi. Sedangkan keburukan yang sangat dibenci adalah penderitaan yang abadi pula.


Bab 2.

Berprasangka Kepada Alloh Menghendaki Berbuat Keburukan Tidak Dibolehkan

Ada suatu yang diperselisihkan oleh orang banyak, bahwa ada sekelompok orang yang mengakui adanya takdir dan ada orang-orang yang tidak mengakui adanya takdir. Kelompok terakhir ini mengatakan,
"Tidak diperbolehkan bagi manusia mengatakan bahwa Alloh SWT. menghendaki keburukan, atau mengerjakannya. Dan yang melakukan keburukan itu disebut sebagai pelaku keburukan".
Seperti halnya orang yang zalim disebut sebagi pelaku kezaliman, orang jahat disebut sebagai pelaku kejahatan. Alloh SWT terlepas dari semuanya itu. Tidak ada sifat dan nama-Nya yang mengandung keburukan sama sekali, karena semua nama­Nya adalah husna (baik). Demikian halnya dengan semua perhuatan-Nya adalah baik. Sehingga suatu hal yang mustahil jika ia menghendaki keburukan dan kejahatan. Keburukan dan kejahatan itu bukan sebagai kehendak dan perbuatan-Nya.
Pendapat orang-orang tersebut di atas tadi ditentang oleh paham Jabariyah, di mana paham ini mengatakan sebaliknya,
“Alloh Ta'ala itu menghendaki dan berbuat keburukan. Karena keburukan itu ada, sehingga sudah pasti  ada penciptanya. Dan tidak ada pencipta kecuali Alloh Azza wa Jalla. Dan Dia menciptakan semua makhluk-Nya ini berdasarkan iradah-Nya. Dengan demikian, setiap makhluk itu merupakan kehendak-Nya dan is merupakan perbuatan-Nya".
Pendapat mereka itu didukung oleh pendukungnya bahwa perbuatan itu adalah objek perbuatan itu sendiri, dan penciptaan itu tidak lain adalah makhluk itu sendiri.
Seterusnya mereka mengatakan,
"Keburukan adalah ciptaan sekaligus sebagai objek penciptaan, dan hal itu jelas merupakan perbuatan dan penciptaan-Nya, bahkan terjadi berdasarkan kehendak-Nya”.
Selain itu mereka pun mengatakan,
"Tidak dikatakan­nya Tuhan itu menghendaki dan berbuat itu hanya sebatas sebagai etika semata, sebagaimana secara etis tidak boleh disebut bahwa Alloh itu sebagai Tuhannya anjing dan babi. Tetapi boleh disebut sebagai Tuhan dan pencipta segala sesuatu”
Mereka juga mengatakan,
"Ungkapan anda bahwa orang jahat adalah orang yang menghendaki dan melakukan kejahatan”. Maka mengenai hal itu dapat dijawab melalui dua sisi.
Pertama, letak permasalahnnya adalah bahwa orang jahat adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri. Sedangkan dzat Alloh Ta'ala tidak melakukan kejahatan, karena semua perbuatan-Nya tidak berupa aksi dan gerakan dari-Nya, melainkan ia terjadi melalui penciptaan.  Dan darinya pula diambil beberapa sebutan, misalnya al-fajir  (yang berbuat jahat), al-fasiq (yang berbuat ke fasikan), al-mushalli (orang yang mengejakan shalat),  al-haj (yang mengerjakan ibadah haji), al-shaaim (orang berpuasa), dan lain-lain yang semisal.
Kedua, bahwa nama-nama Alloh SWT itu bersifat tauqiyah. Dia tidak menyebut dirinya dengan sebutan­-sebutan yang baik"

Kata iradah dapat diartikan sebagai kehendak dan juga cinta dan keridhaan.

Iradah dalam pengertian kehendak adalah seperti yang terdapat dalam firman Alloh SWT. berikut ini:
Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu, sekiranya Alloh hendak menyesatkan kamu*), Dia adalah Tuhanmu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan".(Tafsir QS Huud/11 : 34).
Demikian juga dengan firman-Nya :
"Barangsiapa yang Alloh menghendaki akan memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Alloh kesesatannya*) niscaya Alloh menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Alloh menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman" (Tafsir QS Al-An'am/6 125).

Firman-Nya yang lain:
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri*), maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Alloh) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Tafsir QS Al-Isra'/17 : 16).

Dan juga firman-Nya ini:
“Dan Alloh hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (Tafsir QS An-Nisa' /4:27).

*) Kalimat-kalimat yang diartikan Alloh mengehendaki keburukan itu semuanya adalah kalimat pengandaian (jika kami, barang siapa, sekiranya, dsb.). Ini menunjukkan bahwa Alah hanya akan menjadikan adzab bagi siapa saja yang menyalahi hukumnya.

Serta firman-Nya yang lain:
"Alloh menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian" (Al-Baqarah 185).

Iradah dengan pengertian di atas tidak mengharuskan terjadinya objek kehendak, tidak pula mengharuskan kecintaan dan keridhaan-Nya padanya.

Kedua, iradah dalam pengertian yang tidak mengharus­kan terjadinya objek kehendak, tetapi mengharus­kan kecintaan dan keridhaan Alloh Ta'ala padanya. Iradah dalam pengertian ini tidak terbagi-bagi, tetapi semua yang menjadi kehendak-Nya sudah pasti dicintai dan disukai­-Nya.
Terdapat perbedaan antara iradah dari semua perbuatan­Nya dan iradah dari objek perbuatan-Nya. Semua iradah dari perbuatan-Nya itu baik, adil penuh kemaslahatan dan himah, tanpa sedikit pun keburukan didalamnya. Sedangkan iradah yang kedua masih terdapat beberapa bagian. Sebagaimana yang telah menjadi pendapat ahlussunnah bahwa perbuatan itu berbeda dengan objeknya, dan penciptaan juga berbeda dengan objeknya.
Yang demikian itu sudah sangat logis, dapat diterima oleh  akal pikiran sehat, fitrah, dan tata bahasa, dalil Al-Qur'an, hadist dan ijma' para ulama. Sebagaimana yang diceritakan Al-Baghawi dalam bukunya, Syarhu al Sunnah
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka di sini terdapat dua iradah (kehendak) dan dua muradah (yang menjadi sasaran perbuatan), yaitu:
Pertama, iradah untuk berbuat dan muradahnya adalah perbuatan Alloh Ta'ala.
Kedua, iradah Alloh untuk menjadikan hamba-Nya berbuat, dan yang menjadi muradahnya adalah objek dari perbuatan tersebut.
Namun yang demikian itu bukan suatu keharusan. Terkadang Dia menghendaki hamba-Nya berbuat sedang Dia tidak menghendaki untuk membantunya berbuat. Sebagaimana Dia pernah menghendaki Iblis bersujud kcpada Adam, namun demikian Dia tidak menghendaki diri-Nya untuk membantu Iblis supaya dapat bersujud. Padahal, kalau saja Dia menghendaki untuk membantunya, niscaya Iblis itu pasti akan bersujud kepada Adam dan tidak mungkin tidak.
Sedangkan firman Alloh Azza wa Jalla: "Alloh maha kuasa berbuat apa yang Dia kehendaki". (Al-Buruj:16).
Yang demikian itu merupakan pemberitahuan dari-Nya mengenai iradah untuk perbuatan-Nya dan bukan untuk hamba-hamba-Nya. Bukankah perbuatan dan kehendak itu hanya terbagi menjadi baik dan buruk?
Berdasarkan hal di atas, jika dikatakan bahwa Dia itu menghendaki keburukan, maka yang demikian itu diartikan bahwa Dia menyukai dan meridhai. Dan jika dikatakan bahwa Dia tidak menghendaki keburukan, maka yang demikian itu diartikan bahwa Dia tidak menciptakannya. Kedua hal tersebut terakhir adalah salah dan menyimpang.
Oleh karena itu, jika dikatakan, "Keburukan itu termasuk perbuatan Alloh", atau "Alloh itu juga berbuat keburukan". Maka yang demikian itu benar-benar salah dan sesat. Dan itu mustahil bagi Alloh Ta'ala.
Yang benar dan tepat mengenai masalah ini adalah seperti yang diisyaratkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW, yaitu bahwa keburukan dan kejahatan itu sama sekali tidak diidhafahkan kepada Alloh Azza wa Jalla, baik dalam hal sifat maupun perbuatan. Dan tidak boleh pula digunakan dalam penyebutan nama-Nya. Melainkan keburukan itu termasuk dalam objek dari hasil ciptaan­ Nya secara umum.
Dari sifat dan perbuatan Alloh SWT, diambilkan nama­-nama-Nya, yang tidak diambilkan dari makhluk ciptaan­Nya. Dan setiap nama-Nya diambilkan dari sifat-sifat yang dimiliki-Nya atau perbuatan yang dilakukan-Nya.. Dan jika diambilkan nama bagi-Nya dari makhluk ciptaan-Nya, niscaya akan muncul nama seperti mutaharrik (yang bergerak), saakinan (yang diam), thawil (yang panjang), abjadh ( putih) dan nama-nama lainnya.
Dengan demikian, Alloh Azza wa Jalla tidak rnensifati dirinya dengan makhluk ciptaan-Nya yang terpisah dari diri Nya dan tidak juga memberi nama pada diri-Nya sendiri dengannya. Oleh karena itu, ungkapan  bahwa Alloh Ta'ala berbuat adil dengan keadilan makhluk yang terpisah dari­-Nya atau berbicara dengan ucapan makhluk yang terpisah dari-Nya, merupakan ungkapan salah dan menyesatkan, baik menurut logika, dalil naqli, maupun menurut tata bahasa.
Nama-nama Alloh SWT. itu syarat dengan makna dan scmuanya adalah baik, tidak ada satupun nama-Nya yang buruk. Berkenaan dengan hal itu, Dia telah berfirman di dalam sebuah ayat:
"Hanya milik Alloh Asma’ul Husna. Maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma'ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan". (Al-A'raf : 180)
Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW telah menunjukkan ketetapan sumber-sumber nama-nama Alloh Ta'ala tersebut. Misalnya adalah firman-Nya yang berikut ini : 
"Bahwa semua kekuatan itu hanya milik Alloh" (Al-Bagarah : 165),
Firman-Nya yang lain:
"Sesungguhnya Alloh Dialah al-Razzaq (Maha Pemberi rezeki) yang mempunyai kekuatan Al-Matin (yang sangat kokoh)" (Al-Dzariyat 58).
Dan juga firman-Nya:
"Ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur'an itu diturunkan dengan ilmu Alloh, dan bahwasannya tiada Tuhan selain Dia" (Huud 14).
Serta ucapan Aisyah ra., "Segala puji bagi Alloh yang pendengaran-Nya menjangkau semua suara".
Juga sabda Rasulullah SAW  berikut ini:
"Ya Alloh aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu, aku berlindung dengan ampunan-Mu dan siksaan-Mu  dan aku berlindung kepada-Mu dari diri-Mu, Aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau  adalah seperti pujian-Mu diri-Mu sendiri".
Dalam buku Shahihain diriwayatkan sebuah hadits bahwa RasulAlloh SAW setiap kali selesai mengerjakan shalat senantiasa mengucapkan:
"Tiada tuhan selain Alloh semata, tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya semua kerajaan dan semua puji-pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Alloh, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi kepada apa yang Engkau cegah"
Selain itu, masih ada sabda Rasulullah SAW. yang lain:
"Aku berlindung kepada keperkasaan-Mu supaya tidak Engkau sesatkan".

Kalau tidak ada sumber-sumber, niscaya hilanglah hakikat dari nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan­-perbuatan Alloh Ta'ala tersebut. Perlu diketahui, bahwa perbuatan Alloh Ta'ala itu bukanlah sifat-Nya, dan sifat­Nya bukanlah nama-Nya dan bukan pula perbuatan-Nya.
----------------------
Disalin  dari buku karangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, “Syifa’ul ‘Alif Fii Masaailii Qodlo Wal Qodar Wal Hikmah Wal Ta’lil”,  yang diterjemahkan menjadi berjudul  “Rahasia Takdir ( Suatu Ketetapan)”.

Bentuk Ruhaniyah Manusia sesungguhnya



Bentuk Ruhaniyah Manusia sesungguhnya

by Idris Madjidi (Notes) on Thursday, December 31, 2009 at 9:22am
Dikutip dari Buku Hadis Arbain oleh Imam Khomeini

Kekuatan-Kekuatan Batin



Dengan kekuasaan dan kearifan-Nya, Allah telah menciptakan sejumlah daya dan fakultas di alam gaib dan batin manusia yang bermanfaat luar biasa bagi kita. Di sini, kita akan menyebutkan tiga di antaranya, yaitu al-quwwah al-wahmiyyah (daya imajinasi atau pencitraan), al-qauwwah al-ghadhabiyyah (daya amarah), dan al-quwwah al-syahwiyyah (daya syahwat). Masing-masing daya tersebut memiliki pelbagai man¬faat besar, seperti pelestarian spesies dan individu manusia serta pembangunan dunia maupun akhirat, yang telah dibahas cukup panjang oleh banyak pemikir dan tidak perlu saya ulangi di sini. Yang penting dicamkan di sini adalah bahwa ketiga daya itu merupakan sumber bagi seluruh malakah (watak/ karakter) baik maupun buruk dan dasar bagi seluruh bentuk- bentuk gaib yang tinggi.
Penjelasannya, sebagaimana Allah telah menciptakan manusia di dunia ini dengan sebuah bentuk jasmani-duniawi yang memiliki kesempurnaan dan keindahan komposisi yang menakjubkan akal pikiran seluruh filosof dan ilmuwan sedemikian sehingga ilmu anatomi hingga detik ini belum juga mampu mengungkapkan dan menguraikan cara kerjanya secara benar. Allah telah menjadikan bentuk manusia lebih unggul dibandingkan dengan seluruh makhluk dalam hal postur yang bagus dan tampilan luar yang indah. Meskipun demikian, ada pula bentuk dan wajah manusia yang berbeda, yang bersifat malakuti dan gaib, yang ditentukan oleh karakter jiwa dan struktur batinnya.
Di alam setelah mati - baik di alam barzakh (masa antara kematian dan kebangkitan/ kiamat), maupun di hari kiamat - jika struktur manusia di sisi batinnya, sisi karakter dan sukmanya (sarirah) benar-benar bersifat manusiawi, maka penampilan malakuti gaibnya pun akan seperti manusia. Namun, jika wataknya tidak manusiawi, maka bentuk malakutinya - di alam setelah mati-akan tampak tidak manusiawi.
Sebagai ilustrasi, jika watak kesyahwatan (al-malakah al-syahwiyyah) dan kebinatangan (al-malakah al-bahimiyyah) mendominasi batiniyahnya sehingga kerajaan batinnya berubah menjadi hutan rimba, maka tampilan malakutinyapun akan tampak seperti salah satu binatang yang sesuai dengan watak jiwanya. Jika daya amarah atau kebuasan (al-sabu’iyyah) mendominas batin dan sukmanya sehingga kerajaan batin dan sukmanya ditegakkan atas hukum kekejaman, maka penampilan malakut ghaibnya pun akan menyerupai salah satu binatang buas yang sesuai dengan watak batinya itu.
Demikian pula, jika daya imajinasi atau manipulasi (syaithanah) menjadi watak batinnya sehingga watak-watak setan (malakat syaithaniyyah) seperti tipu muslihat, kecurangan, namimah (adu domba) dan menggunjing (ghibah) menjadi wataknya, maka ia akan memiliki penampilan gaib dan malakuti layaknya salah satu setan yang cocok baginya. Kadang kala mungkin pula seorang manusia memiliki penampilan yang menggabungkan dua atau beberapa watak kebinatangan sekaligus. Jika demikian, ia akan mengambil bentuk yang tidak menyerupai salah satu binatang, tetapi kombinasi bentuk yang aneh. Bentuk ini, dalam susunan bentuk yang mengerikan dan menjijikkan, tidak akan menyerupai bentuk binatang manapun di alam ini.

Diriwayatkan dari Rasul Saw, bahwa beberapa orang akan dibangkitkan di akhirat dengan rupa yang lebih buruk dari kera. Bahkan beberapa dari mereka akan memiliki beberapa rupa sekaligus, lantaran alam itu tidak seperti alam ini yang tidak memungkinkan bagi seseorang dapat memilik lebih dari satu bentuk. Pernyataan ini logis dan juga sudah dibuktikan pada tempatnya.
Ketahuilah bahwa kriteria bagi (pengejawantahan) bentuk-bentuk yang berbeda itu - dengan bentuk manusia sebagai salah satunya – adalah keadaan ruh saat berpisah dari tubuh, keadaan tegaknya (hukum-hukum) alam barzakh dan alam akhirat atas ruh manusia, yang bermula persis saat setelah ruh kelur dari dari tubuh manusia. Watak dan sifat ruh saat keluar dari dari tubuh manusia akan menentukan bentuk ukhrawi manusia, yang akan segera tampak bagi mata ghaib di alam barzakh. Setiap manusia di alam barzakh juga akan melihat dirinya dalam bentuk itu ketika pertama kali membuka matanya di sana – bila ia memang memiliki mata penglihatan (bashar). Tidaklah mesti manusia memasuki alam yang akan datang itu dalam bentuk yang sama dengan ketika berada di alam fisik ini. Allah sendiri telah berfirman melalui lidah sebagian orang: "Wahai Tuhanku, mengapa Kau bangkitkan aku dalam keadaan buta padahal dulunya aku aku dapai melihat". Allah menjawab, "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-¬ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, dan begitu pula pada, hari ini kamu pun dilupakan". (QS Thaha [20]: 125-126).
Wahai, orang malang, memang kau pernah punya mata fisik yang bisa melihat, tapi sisi batin dan malakutmu sebenarya buta. Sekarang kau menyadari perkara ini, padahal kau telah buta sejak semula. Kau tidak memiliki pandangan batin (bashirah) untuk melihat tanda¬tanda Allah. Wahai makhluk yang malang, engkau memiliki postur yang tegap dan dan bentuk yang sempurna secara fisik, tetapi ukuran¬nya di alam malakut dan batin bukanlah bentuk itu. Kau harus berjuang demi ketegapan (bentuk) batinmu agar kelak di hari kiamat engkau juga, dapat berdiri gagah dan tegap. Ruhmu harus menjadi ruh yang manusiawi agar bentukmu di alam barzakh tampak sebagai bentuk manusia.
Engkau mungkin mengira bahwa alam gaib dan batin - yakni alam penyingkapan rahasia dan pengejawantahan watak - sama de¬ngan alam fisik dan duniawi yang memungkinkan terjadinya keka¬cauan, pencampuradukan, dan kekeliruan ini .... Tidak! Kedua mata, telinga, tangan, dan kakimu serta seluruh anggota tubuhmu akan bersaksi atas semua perbuatanmu di dunia ini dengan mulut-mulut malakuti. Bahkan, sebagian anggota tubuhmu akan tampil dalam bentuk malakuti yang utuh (untuk menghadapimu).
Oleh karenanya, Sahabatku, bukalah telinga hatimu, singsingkan lengan bajumu dan kasihanilah ketakberdayaan dirimu sendiri!. Kira¬nya kau dapat menjadikan dirimu sebagai manusia dan keluar dari alam ini dalam bentuk anak Adam, sehingga kelak kau akan menjadi orang yang sejahtera dan bahagia. Jangan sekali-kali kau menyangka bahwa semua yang kuucapkan itu sekadar mauizah dan ceramah, karena semua itu merupakan kesimpulan dari beragam argumen filosofis yang telah diajukan oleh para ahli hikmah, penyingkapan mistis (kasyfi), yang telah ditangkap oleh para pelaku latihan spiritual (riyddhah) dan pemberitaan dari para Imam yang jujur dan maksum. Hanya saja, lembaran-lembaran buku ini memang bukan tempat yang tepat untuk mengajukan bukti-bukti atau menukil hadis-hadis berkenaan dengan pokok masalah di atas secara keseluruhan.

Diskusi :

Abdul Rozak Fahrudin Minta izin buat di-share yo Pak Idris

Idris Madjidi silahkan dg senang hati

Makfi Widodo kita akan dibangkitkan sesuai dg amalan kita sewaktu di dunia, sdh diperlihatkan nabi waktu isra' n mi'raj

Idris Madjidi Saya bukan syiah, tetapi saya yakini kebenaran tulisan di atas, yg sepadan dg tulisan Imam Ghozali di Kimiatus Saadah dan Ihya Ulumuddin, serta penglihatan kasyfiyah dari beberapa ulama bahwa bentuk ruhani kita saat ini sudah bisa terlihat, sesuai dg sifat kita. Banyaknya amal ibadah tidak menjamin sifat kita menjadi manusiawi. itu sangat tergantung keikhlasan kita yg bebas dari sifat riya, ujub, takabur dsb.

Saptadi Fadjatmiko terima kasih atas kiriman artikel nya. sgt bagus.

Evi Ghozaly Maturnuwun....